Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 10 April 2021 | 19:55 WIB
Musala Istiqomah di Kampung Persengkongan, Kelurahan Tegalsari, Kota Tegal yang lebih dikenal dengan nama Langgar Dhuwur dan merupakan musala pertama di Kota Bahari. [Suara.com/F Firdaus]

SuaraJawaTengah.id - ‎Sebuah musala di Kota Tegal menyimpan jejak sejarah penyebaran Islam di Kota Bahari dan sekitarnya. Usianya sudah mencapai dua abad lebih.

Musala tersebut yakni Musala Istiqomah yang berlokasi di Kampung Pesengkongan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat. Musala ini lebih dikenal dengan nama Langgar Dhuwur, yang berarti musala yang berada di atas.

Letak Musala Istiqomah cukup tersembunyi. Berada di tengah-tengah permukiman padat penduduk, akses ke musala ini berupa gang yang hanya bisa dilalui menggunakan sepeda motor dari Jalan S Parman. 

Baca Juga: Mudik Dilarang, Penjual Telur Asin di Tegal: Tahun Kemarin Sudah Hancur!

Di mulut gang yang berjarak sekitar lima meter dari sebuah tempat karaoke di Jalan S Parman itu terdapat gapura bertuliskan Pesengkongan, Kawasan Bersejarah Awal Penyebaran Islam di Tegal.

Musala Istiqomah dibangun pada 1820 dengan luas ‎182 meter persegi. Bangunannya terdiri dua lantai. Lantai paling atas digunakan untuk tempat salat, sedangkan lantai bawah kala itu digunakan untuk tempat menginap calon jemaah haji dari Kota Tegal dan sekitarnya yang akan berangkat ke Tanah Suci menggunakan kapal dari Pelabuhan Tegal.

Sayangnya, bangunan asli musala yang seluruhnya terbuat dari kayu jati mulai dari dinding hingga lantai sudah diganti dengan cor-coran setelah direnovasi pada 2020. Renovasi dilakukan karena kondisi kayu yang mulai lapuk.

‎Namun ada sejumlah bagian musala yang masih asli dan digunakan hingga saat ini yakni kubah, mimbar dan kentongan untuk menandai waktu salat.

Pengurus Musala Istiqomah, Helmi Saleh, 61, mengatakan, musala dibangun oleh saudagar keturunan Melayu dan Gujarat yang datang ke Tegal untuk berdagang sekaligus menyebarkan Islam. 

Baca Juga: Sebentar Lagi Ramadan, Sudah Tahu Belum Beda Masjid dan Musala?

Mereka berbaur dengan warga setempat dan mendiami perkampungan yang kemudian dikenal sebagai Kampung Persengkongan.‎ Nama Pesengkongan sendiri menurut cerita turun temurun berasal dari nama salah satu saudagar, Sengkong, yang ikut membangun musala. 

"Dulu Kampung Persengkongan adalah perkampungan Melayu. Isinya para pendatang dari Sumatera, Sulawesi dan Gujarat yang datang ke Tegal untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Mereka kemudian membangun musala," ujarnya saat ditemui Suara.com, Sabtu (10/4/2021).

‎Helmi menceritakan, selain sebagai tempat beribadah, dulu bangunan Langgar Dhuwur juga digunakan sebagai tempat transit calon jemaah haji dari Kota Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes yang menunggu kapal berlabuh di Pelabuhan Tegal. Saat itu, orang berangkat haji masih menggunakan jalur laut.

‎"Dulu letak musala dekat dengan pelabuhan, jaraknya sekitar 700 meter. Jadi orang-orang yang mau pergi haji nunggu kapal berlabuh di Langgar Dhuwur, di lantai yang bawah. Mereka diberangkatkan dari sini naik kapal. Setelah pulang dari haji, mereka pulang ke daerah asalnya dan berdakwah," ujarnya.

Menurut Helmi, di dalam musala juga terdapat dua kamar yang ditempat syekh dari Gujarat. Mereka melakukan syiar Islam dan membimbing orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.

"Malah sini dulu ada kantor catatan agama pertama sebelum pindah ke Jalan Perintis Kemerdekaan (Kantor Kementerian Agama Tegal)," ujar Helmi.

‎Helmi mengatakan, nama Musala Istiqomah baru mulai digunakan pada 1970. Nama ini digunakan untuk catatan administrasi di pemerintahan.

"Kalau nama Langgar Dhuwur yang memberi nama orang-orang dulu. Saat itu belum ada namanya, jadi orang-orang nyebutnya Langgar Dhuwur karena memang tempat salatnya di atas, dhuwur gitu," ucapnya.

Sebagai musala tertua di Kota Tegal dan memiliki jejak sejarah penyebaran Islam, Langgar Dhuwur pernah diwacanakan menjadi bangunan cagar budaya oleh Pemkot Tegal. Bahkan di era wali kota Siti Masitha Soeparno, Langgar Dhuwur akan dijadikan salah satu wisata religi. Namun hal itu belum ada tindaklanjutnya sampai sekarang.

"Renovasi akhirnya juga kami lakukan sendiri dengan dana swadaya dan sumbangan donatur setelah kami mendatangi pemkot tidak ada tindaklanjut. Renovasi dilakukan karena kondisi tiang-tiang dan lantai sudah lapuk. Jemaah takut kalau tiba-tiba ambruk," ungkap Helmi.

Kontributor : F Firdaus

Load More