Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Senin, 06 September 2021 | 15:41 WIB
Tangkap layar video saat kebun buah melon petani Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah diduga dirusak oleh kendaraan berat TNI pada (26/8/2020) [istimewa]

SuaraJawaTengah.id - Akar konflik lahan Urutsewu, bermula dari tanah selebar 500 meter dengan panjang 22,5 kilometer di bibir pantai Kabupaten Kebumen. Penguasaan tanah pinjaman itu kemudian meluas menjadi 464 hektare.  

Usut punya usut, sekitar tahun 1972 Koramil Ambal, Kebumen pernah mengajukan izin penggunaan lahan untuk latihan perang. Saat itu, setiap kali TNI AD akan mengadakan latihan harus membuat surat pinjam tempat kepada kepala desa.

Belakangan situasi berubah. Berdasarkan kronologi konflik yang disusun Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), pada Maret-April 1998, TNI AD melakukan pemetaan secara sepihak.

Mereka mengklaim tanah di muara Kali Lukulo di Desa Ayamputih hingga muara Kali Mawar di Desa Wiromartan, sebagai lokasi latihan dan uji coba senjata.

Baca Juga: Sindir Dokter Lois, Bupati Kebumen: Orang yang Tak Percaya Covid-19 Sesat

Proses pemetaan yang dilakukan oleh Serma Hartono itu menandai tanah yang dijadikan area latihan sebagai “Tanah TNI AD”.

Petugas pemetaan kemudian meminta tanda tangan persetujuan dari kepala desa dengan dalih izin penggunaan tanah milik. Hasil pemetaan sepihak ini yang dikemudian hari diklaim sebagai bukti mutasi kepemilikan.

Saat perwakilan petani Urutsewu datang ke Menteri ATR/BPN untuk memberikan surat keberatan (suara.com/Dafi Yusuf)

Tanah yang diklaim sebagai lokasi latihan tentara berupa tanah “berasengaja” atau tanah yang sengaja tidak ditanami. Bukan berarti tanah tak bertuan, warga biasa memanfaatkan lahan ini untuk menggembalakan ternak atau pengelolaan lain atas persetujuan pemerintah desa.

Kenyataanya banyak tanah yang diklaim sebagai kawasan latihan TNI AD itu tumpang tindih dengan tanah warga berstatus letter C. Bukti kepemilikan tanah tercatat di Buku C Desa dan memiliki surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).

Bukti kepemilikan lahan itu pernah disampaikan warga kepada Komnas HAM tahun 2011. Warga gabungan dari Kecamatan Bulupesantren, Mirit, dan Ambal menuding TNI AD melalui Kodam IV Diponegoro menyerobot lahan mereka.

Baca Juga: Kisah Watu Kelir Kebumen, Situs Geologi dan Mitos Suara Gamelan Astral

Laporan ke Komnas HAM tidak membuat proses klaim tanah berhenti. Pada tahun 2015 tentara mulai memagari wilayah latihan di 11 desa, antara lain di Desa Entak, Brecong, dan Setrojenar. Sempat terjadi bentrok dengan warga yang menolak pemagaran tersebut.

Warga kemudian punya kesempatan mengubah status letter C tanah saat Badan Pertanahan Nasional membuka program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).

Sayangnya luas tanah yang diakui sebagai milik warga tidak sampai batas laut, tidak seperti yang tercantum pada letter C.

Tanah selebar 500 meter sepanjang 22,5 kilometer itu diakui sebagai tanah milik pemerintah yang dikelola oleh negara melalui TNI.

Hak Tanah Turun Temurun

Termuat dalam risalah rapat koordinasi kasus Urutsewu di Komnas HAM pada 24 Februari 2020, hukum adat eks kerajaan Surakarta mengatur kepemilikan tanah yang berbatasan dengan pesisir.

Pemilik tanah yang berbatasan dengan pesisir (wedi), berhak menguasai lahan tersebut. Lahan itu biasanya digunakan untuk pangonan, areal kuburan, atau kepentingan umum lainnya.

Argumentasi yang disampaikan Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, Maria Ruswiatuti itu juga menjelaskan soal aturan pemanfaatan lahan secara turun temurun.

Secara antropologis, masyarakat Urutsewu, Kebumen mewarisi lahan pesisir secara turun temurun. Hak mereka sebagai pewaris tanah tidak bisa dipinggirkan begitu saja oleh kepentingan negara.

Alasan bahwa ada warga yang tidak memiliki bukti kepemilihan tanah, menurut Maria juga tidak bisa dijadikan dasar pemerintah mengambil lahan begitu saja.

Pemerintah seharusnya mengakui dan menghormati hak milik serta hak pakai dalam norma hak adat. Sebab masyarakat adat secara natural telah menguasai dan mengelola lahan sebelum negara terbentuk.

Tapi kenyataan berkata lain. Pada 12 Agustus 2020, Kanwil BPN Jateng menerbitkan 5 sertifikat hak pakai seluas 213,21 hektare untuk dikuasai TNI AD. Tercatat ada 15 sertifikat bidang tanah yang masih dipersengketakan dengan warga.

Sertifikat atas nama TNI AD itu terletak di Desa Kenojayan (247.700 m2), Ambalresmi (477.200 m2), Sumber Jati (554.600 m2), Tlogodepok (595.800 m2), dan Tlogopragoto (256.800 m2).

“Kami juga telah melakukan komplain ke Kanwil BPN Semarang (terkait penerbitan sertifikat Agustus 2020). Tapi sampai hari ini tidak ada tanggapan,” kata aktivis warga Urutsewu Bersatu, Widodo Sunu Nugroho, Minggu (5/8/2021).

TNI AD Kuasai 464 Hektare Lahan Urutsewu

Seolah tidak menggubris protes warga, Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah malah kembali menerbitkan sertifikat hak pakai untuk TNI AD. Total lahan Urutsewu yang dikuasai tentara saat ini mencapai 464 hektare.  

Kabar penerbitan sertifikat itu disampikan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Andika Perkasa di Markas Korem 072/ Pamungkas, pada 4 September kemarin.

KASAD Jendral TNI Andika Perkasa di Korem 072/Pamungkas Yogyakarta, Sabtu (04/09/2021). - (Kontributor SuaraJogja.id/Putu)

Sertifikat hak pakai lahan diserahkan Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah dan Kakanwil Yogyakarta di Markas Korem 072/ Pamungkas Yogyakarta pada 4 Mei 2021.

Seperti dilansir dari SuaraJogja.id, Jenderal Andika tidak mempermasalahkan jika masih ada warga yang tidak terima dengan penetapan sertifikat.  

“Kalau masih ada warga yang merasa tidak menerima atau belum dilibatkan (dalam penggunaan tanah di Urutsewu], intinya TNI AD ikut aturan hukum untuk lahan-lahan wilayah yang belum ada sertifikat,” katanya.

TNI AD tidak akan serta merta menggunakan lahan yang bukan diserahkan kepada mereka. “Tidak ada perlu kekhawatiran (dari masyarakat). Kami tidak akan turun memaksakan secara pihak wilayah yang belum secara resmi dipakai.”

Andika menjelaskan, saat ini kawasan Urutsewu tidak lagi dijadikan lokasi latihan menembak prajurit TNI AD. Terutama yang berkaitan dengan latihan menggunakan peluru tajam dan ledakan. Latihan di kawasan tersebut hanya berupa manufer dan penelitian.

Sama seperti tahun lalu, menurut aktivis Urutsewu Bersatu, Widodo Sunu Nugroho, warga kembali akan mengajukan protes ke Kanwil BPN Jawa Tengah.

Salah satu yang menjadi point keberatan warga adalah mereka tidak dilibatkan dalam proses pengukuran yang dilakukan BPN.

“Itu yang saya kira harus digaris bawahi betul. Kami juga telah melakukan komplain ke Kanwil BPN Semarang. Sampai hari ini tidak ada tanggapan,” ujar Sunu.

Dia mengaku belum mengetahui posisi lahan yang telah disertifikatkan atas nama TNI. “Saya juga yang terbaru ini belum tahu yang sebelah mana itu. Di berita juga tidak disebutkan di desa mana.”

Perkiraan lokasi lahan yang telah disertifikatkan TNI AD berada di Desa Desa Lembupurwo dan Mirit Petikusan, Kecamatan Mirit. Hal itu berdasarkan informasi bahwa masyarakat kedua desa tersebut dikumpulkan untuk musyawarah sekitar 2 hari lalu.

“Masyarakat dikumpulkan, kemudian masyarakat menyatakan tidak setuju. Tapi kemudian di dalam musyawarah itu pada akhirnya masyarakat menyetujui,” kata Sunu.

Sunu menduga warga yang menghadiri rapat mendapat intimidasi. “Intimidasi tidak selalu kekerasan ya. Bisa ketika musyawarah itu tidak imbang dalam arti masyarakat di bawah tekanan dan lain sebagainya.”

Dia berharap pemeritah melindungi masyarakat. Sebab yang terjadi saat ini seolah-olah masyarakat dibenturkan langsung dengan TNI.

“Kenapa nggak BPN saja sih yang turun. Kenapa harus selalu TNI yang dikedepankan. Ketika musyawarah ada tentara, ya masyarakat takut lah. Coba BPN turun sendiri, ngobrol langsung dengan masyarakat, ditelusuri. Nggak usah bawa-bawa tentara.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More