SuaraJawaTengah.id - Akar konflik lahan Urutsewu, bermula dari tanah selebar 500 meter dengan panjang 22,5 kilometer di bibir pantai Kabupaten Kebumen. Penguasaan tanah pinjaman itu kemudian meluas menjadi 464 hektare.
Usut punya usut, sekitar tahun 1972 Koramil Ambal, Kebumen pernah mengajukan izin penggunaan lahan untuk latihan perang. Saat itu, setiap kali TNI AD akan mengadakan latihan harus membuat surat pinjam tempat kepada kepala desa.
Belakangan situasi berubah. Berdasarkan kronologi konflik yang disusun Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), pada Maret-April 1998, TNI AD melakukan pemetaan secara sepihak.
Mereka mengklaim tanah di muara Kali Lukulo di Desa Ayamputih hingga muara Kali Mawar di Desa Wiromartan, sebagai lokasi latihan dan uji coba senjata.
Proses pemetaan yang dilakukan oleh Serma Hartono itu menandai tanah yang dijadikan area latihan sebagai “Tanah TNI AD”.
Petugas pemetaan kemudian meminta tanda tangan persetujuan dari kepala desa dengan dalih izin penggunaan tanah milik. Hasil pemetaan sepihak ini yang dikemudian hari diklaim sebagai bukti mutasi kepemilikan.
Tanah yang diklaim sebagai lokasi latihan tentara berupa tanah “berasengaja” atau tanah yang sengaja tidak ditanami. Bukan berarti tanah tak bertuan, warga biasa memanfaatkan lahan ini untuk menggembalakan ternak atau pengelolaan lain atas persetujuan pemerintah desa.
Kenyataanya banyak tanah yang diklaim sebagai kawasan latihan TNI AD itu tumpang tindih dengan tanah warga berstatus letter C. Bukti kepemilikan tanah tercatat di Buku C Desa dan memiliki surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).
Bukti kepemilikan lahan itu pernah disampaikan warga kepada Komnas HAM tahun 2011. Warga gabungan dari Kecamatan Bulupesantren, Mirit, dan Ambal menuding TNI AD melalui Kodam IV Diponegoro menyerobot lahan mereka.
Baca Juga: Sindir Dokter Lois, Bupati Kebumen: Orang yang Tak Percaya Covid-19 Sesat
Laporan ke Komnas HAM tidak membuat proses klaim tanah berhenti. Pada tahun 2015 tentara mulai memagari wilayah latihan di 11 desa, antara lain di Desa Entak, Brecong, dan Setrojenar. Sempat terjadi bentrok dengan warga yang menolak pemagaran tersebut.
Warga kemudian punya kesempatan mengubah status letter C tanah saat Badan Pertanahan Nasional membuka program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).
Sayangnya luas tanah yang diakui sebagai milik warga tidak sampai batas laut, tidak seperti yang tercantum pada letter C.
Tanah selebar 500 meter sepanjang 22,5 kilometer itu diakui sebagai tanah milik pemerintah yang dikelola oleh negara melalui TNI.
Hak Tanah Turun Temurun
Termuat dalam risalah rapat koordinasi kasus Urutsewu di Komnas HAM pada 24 Februari 2020, hukum adat eks kerajaan Surakarta mengatur kepemilikan tanah yang berbatasan dengan pesisir.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Motor Matic Paling Nyaman & Kuat Nanjak untuk Liburan Naik Gunung Berboncengan
- 4 Rekomendasi Cushion dengan Hasil Akhir Dewy, Diperkaya Skincare Infused
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Daftar Promo Alfamart Akhir Tahun 2025, Banyak yang Beli 2 Gratis 1
Pilihan
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
-
Seni Perang Unai Emery: Mengupas Transformasi Radikal Aston Villa
-
Senjakala di Molineux: Nestapa Wolves yang Menulis Ulang Rekor Terburuk Liga Inggris
-
Live Sore Ini! Sriwijaya FC vs PSMS Medan di Jakabaring
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
Terkini
-
Lelang on The Street, BRI Sapa Warga di CFD Blora, Kenalkan Peluang Investasi dan Kemudahan BRImo
-
La Suntu Tastio: Layanan Digital BRI Membuat Pengelolaan Keuangan Usaha Jadi lebih Praktis
-
Kolaborasi Lintas Budaya, BRI dan PSMTI Jawa Tengah Gelar Pengajian Kebangsaan di MAJT Semarang
-
Konektivitas Aceh Pulih, Kementerian PU Janjikan Jembatan Permanen
-
Urat Nadi Aceh Pulih! Jembatan Krueng Tingkeum Dibuka, Mobilitas Kembali Normal