Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 27 Oktober 2021 | 15:40 WIB
Suasana rumah Mak Jah atau Pasijah dan keluarga di pesisir pantai utara (Pantura) Kabupatan Demak (suara.com/Dafi Yusuf)

SuaraJawaTengah.id - "Kampung pasijah di Demak tenggelam, air laut selalu masuk di lingkungan rumahnya. Abrasi menjadi masalah di pesisir pantai utara (Pantura)"

Pesisir pantai utara (Pantura) Kabupaten Demak merupakan salah satu daerah yang terdampak abrasi paling parah. Fenomena tersebut mengusir ribuan warga dari rumah mereka karena tak layak huni, rob dan abrasi atau penurunan tanah terus menghantui mereka.

Kali ini saya berkesempatan bertemu dengan Pasijah dan keluarganya. Keluarga Pasijah atau yang akrab dipanggil Mak Jah merupakan satu-satunya keluarga yang masih bertahan di desa yang sudah tenggelam. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit dengan jarak kurang lebih 2 kilometer menggunakan ojek perahu tersebut, terlihat sebuah rumah yang dikelilingi pohon mangruve.

Baca Juga: Mbah Minto Warga Demak Nekat Bacok Pencuri Ikan, Alasannya: Saya Disetrum

Suara ombak bergemuruh dari balik dinding sekolah dasar (SD) 1 Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak yang sebagian tak bisa lagi digunakan karena langsung berbatasan dengan bibir laut. 

Tak jauh dari SD yang sebagian bangunan sudah terendam air itu, tampak sejumlah perahu berjejer di sana. Mereka merupakan tukang ojek laut yang biasanya mengantar warga untuk beribadah ke sebuah makam.

Kurang lebih sekitar 15 menit dari daratan saya sampai di rumah Mak Jah. Kedatangan saya ternyata disambut hangat Mak Jah. 

"Ayo masuk-masuk," ajak Mak Jeh kepada saya beberapa waktu yang lalu. 

Di dalam rumah Mak Jah seperti rumah pada umumnya. Terdapat tiga kamar yang biasanya dibuat istirahat anak dan suaminya, Rukani. 

Baca Juga: Bacok Pencuri Ikan, Pakar Hukum Undip Sebut Mbah Minto Warga Demak Itu Bisa Bebas

Setibanya di sana, saya disuguhi minuman buatan Mak Jah yaitu minuman teh yang terbuat dari daun mangrove. Kata Mak Jah, teh yang terbuat dari daun mangrove itu bisa menetralkan racun. 

Meski tak tau kebenarannya soal bisa menetralkan racun atau tidak, setidaknya tah tersebut mengurangi rasa dahaga saya setelah menempuh perjalanan laut.

Mak Jah menceritakan, di lokasi tempat dia tinggal saat ini dulunya merupakan sebuah daratan dimana banyak warga yang berprofesi sebagai petani. 

Tak hanyal, jika dulunya banyak tanaman padiyang di produksi di tempat dia tinggal. Mak Jah juga mengaku jika awalnya dia adalah seorang petani.

"Dulunya itu saya petani, Pak Rukani juga petani," ungkapnya.

Mak Jah sendiri mulai tinggal di Dusun Rejosari Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak sejak 32 tahun yang lalu.

"Yang asli sini itu Pak Rukani suami saya," paparnya.

Namun, sejak tahun 2000-an lahan pertanian di daerah tersebut berubah menjadi tambak. Air terus menggerus daratan hingga memaksa warga pindah lokasi. Pada tahun 2010 hanya tersisa Mak Jah beserta keluarga yang tinggal di sana.

"Kemudian kok ada rob, akhirnya muali tahun 2000 dibuat tambak. Terus tahun 2010 sudah jadi laut hingga sekarang," terang Mak Jah.

Mak Jah memang sudah membulatkan tekat untuk tetap bertahan dan merawat wilayah yang sudah tenggelam itu. Saat ini Mak Jah terus melakukan pembibitan mangruve. Dalam satu tahun, dia bisa menanam mangrove hingga 15 ribu pohon.

"Sudah saya niatkan di sini menunggu desa tenggelam. Kalau saya pergi kan sayang, pasti desa ini sudah hilang dan tidak lagi dikenang," katanya.

Sambil menunjuk pohon mangruve di sekeliling rumah, Mak Jah menjelaskan, jika pohon-pohon itu dia tanam sejak tahun 2003. 

Selain menjual ikan hasil tangkapan suami dan anaknya ke pasar, Mak Jah juga menjual bibit mangruve hasil pembibitannya. Dia bersyukur dengan pekerjaan itu masih bisa digunakan untuk biaya hidup dan biaya sekolah ke dua anaknya. 

"Dulu waktu awal-awal dalam satu tahun sedikit 500 pohon. Lalu terus bertambah setiap tahunnya. Sampai sekarang satu tahun target 15 ribu pohon. Alhamulilah dengan menjual bibit mangruve jadi lahan penghasilan," jelasnya.

Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah menjelaskan, Pihaknya sudah sejak tahun 2000 mengikuti perkembangan abrasi di sana. 

Menurutnya, hal yang menarik dari persoalan di Sayung adalah akibat dari perubahan iklim hingga meningkatnya air laut.

"Itu yang menjadi hal menariuk untuk kami menyelamatkan atau merestorasi wilayah yang menjadi titik perubahan iklim di wilayah pesisir utara Demak," paparnya.

Menurutnya, dampak bencana ekologi tersebut juga disebabkan perilaku  manusia. Di antaranya perluasan wilayah Tanjung Mas dan reklamasi Pantai Marina.

"Di Demak kan daerahnya seperti cekungan ya jadi airnya ke sana semua," paparnya. 

Kontributor : Dafi Yusuf

Load More