SuaraJawaTengah.id - Kasus pelecehan seksual di lingkungan keagamaan kembali mencuat di Kota Semarang. Tepatnya di Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayatul Hikmah Al Kahfi Kelurahan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur.
Pelakunya tak lain adalah pemimpin pondok tersebut Bayu Aji Anwari alias Muh. Anwar. Dia diduga menyetubuhi enam santriwati sekaligus di dalam maupun di luar pondok.
Kemudian yang jadi pertanyaan, siapa sosok Muh. Anwar? Apakah dia benar-benar seorang kiai yang memiliki sanad keilmuan yang jelas? Dan apakah Ponpes tersebut berizin atau justru ilegal.
Setelah ditelusuri ke lokasi, kami menemukan beberapa fakta menarik terkait identitas pelaku maupun Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi.
1. Tidak Berizin
Berdasarkan Kasi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD. Pontren), Kemenag Kota Semarang, Tantowi Jauhari mengatakan Ponpes milik Muh. Anwar sama sekali tidak terdata di Kementrian Agama.
Dari 273 data nama Pondok Pesantren Kota Semarang. Tidak ada nama Hidayatul Hikmah Al Kahfi. Jadi bisa dipastikan ponpes tersebut ilegal.
"Ini bukan pondok, kalau melihat kondisi bangunan sangat tidak layak dikatakan pesantren. Bahkan untuk tempat majelis taklim juga tidak layak," ucap lelaki yang akrab disapa Tantowi saat ditemui di lokasi ponpes, Jumat (8/9).
Tantowi lalu menjelaskan syarat untuk mendirikan Ponpes itu tidaklah mudah. Sebab ada beberapa poin yang dipenuhi diantaranya seperti ada ruang untuk ngaji, musala atau masjid, kitab kuning, dan paling utamanya adalah ada kiainya.
Baca Juga: Pelecehan Seksual Terjadi Lagi di Ponpes Kota Semarang, Dua Anak Dibawah Umur Jadi Korban
"Teman-teman yang membina majelis di tingkat kelurahan saja tidak ada yang tau tentang Ponpes Muh. Anwar itu," bebernya.
2. Tidak Dikenali sebagai Kiai
Sementara itu, dari perwakilan Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Kota Semarang, Ahmad Syamsudin menyebut nama Muh. Anwar sangat asing ditelinga kalangan kiai pemilik Ponpes di Kota Lunpia.
Syamsudin juga baru tau nama Muh. Anwar setelah kasus pelecehan seksual yang dia lakukan mencuat ke permukaan.
"Di lingkungan pesantren, kalangan kiai, gus-gus, tidak ada yang kenal sama sekali dengan namanya Anwar," tegas Syamsudin.
Syamsudin benar-benar terpukul dengan adanya kejadian ini. Nama baik pesantren pasanya telah dicederai oleh Muh. Anwar.
"Yang bisa dikatakan kiai itu sanad keilmuannya kalau bisa harus sampai Rasulullah. Misal saya baru bisa belajar Al-fatihah terus masyarakat mempercayai, lalu saya membuat pesantren ini tidak bisa dikatakan kiai," imbuhnya.
"Karena dalamnya kita tau seperti apa, jadi kita ngga bisa menyimpulkan ajaran yang dia sebarkan sepeti apa," tambahnya.
Kemudian Syamsudin berpesan kepada masyarakat agar tidak mudah percaya dengan seseorang yang mengaku kiai. Harus ditelusuri dulu asal muasal dia belajar ilmu agama dimana dan sama siapa.
"Bangunan itu paling layak disebut tempat persembunyian. Bukan Ponpes. Kalau mau mendirikan pesantren seharusnya izin operasional ditaati agar perangkat kelurahan dan kecamatan tau semua aktivitas disana," jelasnya.
3. Dianggap Warga Biasa
Yang lebih mengejutkannya lagi ternyata di Ponpes milik Muh. Anwar tidak ada warga sekitar yang mengikuti pengajian disana. Menurut Ketua RT 03 RW 04 Lempongsari, Adi Alamsyah mengemukakan kalau Muh. Anwar dianggap warga biasa bukan kiai.
"Karena mungkin dianggap warga biasa, jadi nggak ada masyarakat sekitar yang ngaji ke sana. Jadi tidak ada ikatan belajar mengajar," ungkap Adi.
Dikatakan Adi, Muh. Anwar telah bertempat tinggal di Lempongsari sejak tahun 2004. Dia warga pendatang asal Rejosari yang membeli beberapa petak tanah.
Disana Muh. Anwar sering mengadakan pengajian. Bangunan yang dia dianggap Ponpes yang dulunya kecil lambat laun berkembang jadi besar.
"Yang saya tau bukan untuk kegiatan pondok. Hanya tempat ngaji biasa kurang lebih sudah beroperasi 2-3 tahunan," tutur Adi.
Sedangkan santri-santri yang bermukim dan menyerahkan data identitas hanya 10 orang. Semuanya laki-laki, tidak ada santri perempuan yang bermukim.
"Pernah ada keresehan dari warga cuman satu speaker yang digunakan untuk pengajian terlalu keras. Saya tegur supaya agak dikecilkan. Keresehan warga itu saja," pungkas Adi.
Kontributor: Ikhsan
Berita Terkait
-
Pernikahan Bukan Solusi bagi Korban Pelecehan Seksual, Hanya Nambah Masalah
-
Mahasiswi Jambi Diperkosa Senior Mapala, Kemen PPPA Ingatkan Kampus Harus Jadi Garda Depan Pencegahan TPKS
-
Mantan Dosen Divonis 4 Tahun Penjara, Terbukti Lecehkan Mahasiswi Berkali-kali
-
Mantan Model Akui Pernah Dapat Pelecehan Seksual dari Donald Trump: Saya Merasa Seperti Sepotong Daging
-
Ironi Pelecehan Verbal: Sinyal Krisis Etika Berkomentar di Media Sosial
Terpopuler
- Respons Sule Lihat Penampilan Baru Nathalie Tuai Pujian, Baim Wong Diminta Belajar
- Berkaca dari Shahnaz Haque, Berapa Biaya Kuliah S1 Kedokteran Universitas Indonesia?
- Pandji Pragiwaksono Ngakak Denny Sumargo Sebut 'Siri na Pace': Bayangin...
- Jordi Onsu Terang-terangan Ngaku Temukan Ketenangan dalam Islam
- Beda Penampilan Aurel Hermansyah dan Aaliyah Massaid di Ultah Ashanty, Mama Nur Bak Gadis Turki
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Memori 256 GB, Terbaik November 2024
-
Neta Hentikan Produksi Mobil Listrik Akibat Penjualan Anjlok
-
Saldo Pelaku UMKM dari QRIS Nggak Bisa Cair, Begini Respon Menteri UMKM
-
Tiket Kereta Api untuk Libur Nataru Mulai Bisa Dipesan Hari Ini
-
Review DADOO: Nostalgia Game Ular Tangga yang Bisa Main Multiplayer Secara Online
Terkini
-
Alokasi Anggaran Sampai Rp750 Juta, Jateng Uji Coba Program Makan Bergizi Gratis
-
Jelang Nataru, Polisi Batasi Operasional Truk di Jateng
-
Target 2045: Semarang Bangun Kota Tangguh Bencana dan Berdaya Saing Global
-
Semen Gresik Tebar Kebaikan, Bantu Pedagang Sayur Keliling di Rembang Tingkatkan Penghasilan
-
Ramai-ramai ke Rumah Jokowi, Calon Kepala Daerah Diminta Fokus pada Isu Mendasar dan Prioritas Lokal