Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 19 Oktober 2024 | 14:26 WIB
Upacara pengembalian taksu oleh umat Hindu Bali di Candi Lumbung, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

SuaraJawaTengah.id - Ruh Candi Lumbung kembali pulang. Menjejak bumi tempatnya dulu pernah didirikan.

Jalan takdir struktur batuan andesit setinggi 17 meter itu tampaknya harus berkelok, menukik, dan menikung tajam. Diselamatkan dari ancaman banjir lahar dingin Merapi, Candi Lumbung sempat ‘dipaksa’ meninggalkan kampung halaman.

Lokasi candi peninggalan raja Mataram Kuno, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala itu, semula terletak di tepi lembang Kali Apu. Salah satu sungai yang berhulu di puncak Merapi.

Letusan Merapi tahun 2010 menggelontorkan banjir material batu, pasir bercampur lumpur ke aliran sungai. Terjangan banjir mengikis dinding pereng tempat Candi Lumbung berdiri.

Baca Juga: Dugaan Pelecehan Seksual di Ponpes Magelang, Adakah Tempat Aman Bagi Para Pencari Tuhan

Candi terpaksa dievakuasi. Satu persatu bongkah batunya dibongkar dan disusun kembali di tempat yang lebih aman.

Tidak tersedianya tempat evakuasi yang memungkinkan di dekat lokasi asal candi, menyebabkan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) memindahkan Candi Lumbung ke wilayah desa tetangga, Dusun Tlatar, Krogowanan.

Sepuluh tahun kemudian candi baru bisa dipulangkan ke Desa Sengi, Kecamatan Dukun.

“Proses pemindahan membutuhkan waktu dua periode tahun 2023 dan kita lanjutkan tahun 2024. Proses pemindahannya tidak gampang dan kami tidak menggunakan peralatan (berat),” kata Koordinator pemindahan situs Candi Lumbung pada Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X, Eri Budiarto.

Hanya 75 persen konstruksi candi saat ini yang merupakan batuan asli Candi Lumbung. Sisanya adalah pasangan batu baru yang disesuaikan dengan elemen arsitektur asli.

Baca Juga: Operasi Patuh Candi 2024: 800 Kamera "Mobile Handheld" Siap Mengintai Pelanggaran!

“Pemasangan batu baru mengacu pada bentuk dan keadaan hasil anastilosis. Kita hanya mengembalikan (batu asli candi) sebatas maksimal yang ada.”

Anastilosis adalah istilah yang digunakan oleh arsitek dan arkeolog pada proses restorasi struktur kuno, dengan hanya menggunakan elemen arsitektur asli semaksimal mungkin.

Banyak susunan batu kulit candi bagian tubuh hingga atap belum ditemukan. Kemungkinan hilang jatuh ke sungai sebelum sempat diselamatkan.

Secara umum proses pemindahan Candi Lumbung dianggap sudah selesai. Balai Pelestarian Kebudayaan tinggal membangun saluran drainase dan menata jalan masuk menuju candi.  

Ritus Mengembalikan Ruh Candi

Selesainya pemindahan Candi Lumbung ditandai dengan digelarnya upacara pengembalian taksu sesuai adat Hindu Bali. Upacara sebaliknya yaitu pemindahan taksu sementara, juga dilakukan saat dulu candi akan dibongkar.

Masyarakat Hindu Bali meyakini, semua hal yang memancarkan energi memiliki unsur taksu. Taksu mewakili kekuatan maya dari Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.

Taksu dapat diartikan sebagai pancaran energi kewibawaan, kecerdasan mental dan spiritual. Karisma yang mengalir dari taksu akan mempengaruhi pola pikir, bahkan tingkah laku orang-orang di sekitarnya.  

Penjelasan yang paling mendekati nalar masyarakat awam, taksu adalah ‘ruh’ yang mewakili unsur spiritual dari seluruh hasil karya cipta manusia. Pada rumah-rumah di Bali, taksu berada pada pelinggih atau sanggah yang berfungsi sebagai altar pemujaan dewa.

Sebagai ruh dari rumah, maka taksu harus dipindahkan sementara saat rumah akan dipugar. Ia dikembalikan setelah rumah selesai dibangun. Begitu juga yang terjadi pada proses pemindahan Candi Lumbung.

Taksu mewakili unsur niskala atau hal yang bersifat ruhani dalam kehidupan manusia, melengkapi hal-hal yang bersifat niskala atau badaniah.  

Upacara pengembalian taksu Candi Lumbung dipimpin oleh tiga pedanda atau penghulu agama Hindu: Ida Pedanda Gde Dwaju Tembuku, Ida Pedanda Gde Karang Kerta Udiana, dan Ida Pedanda Gde Intaran Kramas.

“Kami akan ngelinggihken kembali taksu (Candi Lumbung). Ruhnya saja. Pisahnya (bangunan candi) secara sekala (badaniah), nanti kami akan menyatukan kembali secara niskala. Secara spritual atau secara ruhani,” kata Ida Pedanda Gde Dwaju Tembuku.

Ida Pedanda Gde Dwaju Tembuku meyakini mengembalikan taksu Candi Lumbung akan memulihkan tujuan spiritual candi saat dulu dibangung oleh Empu Apus.    

“Kami harapkan nanti, beliau adalah betul-betul Empu Apus yang bersetanah di sini. Di sinilah letaknya yang paling tepat. Barat laut (Gunung Merapi).”

Menurut Ida Pedanda Gde Dwaju Tembuku, gunung melambangkan lingga dan laut mewakili yoni. Sehingga gunung dapat dijadikan sebagai objek sembahyang umat Hindu.

Upacara pengembalian taksu oleh umat Hindu Bali di Candi Lumbung, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

Objek Pemajuan Kebudayaan

Menurut keyakinan Hindu, posisi Candi Lumbung yang berada di barat laut Gunung Merapi merupakan tempat bersemayamnya Sang Hyang Sangkara.

Menurut kitab Sundarigama, Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Hyang Sangkara adalah dewa tumbuh-tumbuhan. Umat Hindu biasanya menggelar upacara Tumpek Wariga untuk menghormati Hyang Sangkara.

“Di sini bersetanah adalah Shang Hyang Sangkara. Itu adalah simbol dari tumbuh-tumbuhan. Jadi di sinilah yang akan menghasilkan oksigen.”

Masyarakat kuno penghuni lereng Merapi biasanya mengadakan ritual di Candi Lumbung sebelum wiwitan panen. Sedikit dari hasil panen dibawa ke candi sebagai persembahan untuk kemudian disimpan.    

“Nanti sangat terkait dengan Candi Aso dan candi danu. Bentuk candi itu secara Hindu adalah lingga. Jadi candi ini juga melambangkan gunung. Gunung lambang kemakmuran atau hulu,” ujar Ida Pedanda Gde Dwaju Tembuku.   

Upacara mengembalikan taksu di Candi Lumbung juga menunjukkan bahwa Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 17 tahun 2024 tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya mulai efektif berlaku di lapangan.   

Peraturan ini mengizinkan kegiatan peribadatan di zona inti cagar budaya sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan zona inti untuk peribadatan tetap mengutamakan keamanan kelestarian bangunan cagar budaya.

Peraturan ini menjawab polemik pada UU Nomor 11 tahun 2010 yang membedakan klasifikasi cagar budaya sebagai monumen hidup (living monument) dan monumen mati (dead monument).

Menurut UU tersebut semua bangunan cagar budaya yang ditemukan saat tidak lagi berfungsi dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam monumen mati.

Sehingga pemanfaatan candi Buddha atau Hindu yang termasuk sebagai monumen mati, bukan lagi sebagai tempat peribadatan.

Kegiatan peribadatan di Candi Borobudur, Pawon, Mendut, dan Prambanan yang termasuk monumen mati misalnya, harus berdasarkan permohonan izin kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.   

Berbeda dengan Peraturan Menteri No 17 tahun 2024 tentang Sistem Zonasi Cagar Budaya yang memberi kelonggaran mengelar ibadat di zona inti cagar budaya sesuai batas pemanfaatan ruang.

“Sehingga tidak hanya fokus terhadap benda cagar budaya, tapi juga objek pemajuan kebudayaan seperti upacara ibadah yang sering dilakukan di candi baik Hindu maupun Buddha,” kata Koordinator pemindahan situs Candi Lumbung pada Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X, Eri Budiarto.

Demikian ritus mengembalikan taksu Candi Lumbung menjadi momen sakral karena dua hal. Pertama, mengembalikan ruh candi sesuai amanat fungsinya bagi masyarakat kuno lereng Merapi.

Kedua, memulihkan fungsi candi-candi bukan sekadar bangunan mati dan bisu, tapi menjadi pusat spiritual peribadatan umat Hindu.

“Proses pemindahan sudah selesai dan Candi Lumbung kita kembalikan ke (wilayah) Desa Sengi. Insyallah selamanya akan berada di sini,” ujar Eri Budiarto.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More