Budi Arista Romadhoni
Rabu, 01 Oktober 2025 | 14:32 WIB
Terdakwa kasus pemerasan dokter residen junior PPDS Anestesi Undip Semarang Zara Yupita Azra berkonsultasi dengan penasihat hukum saat sidang di PN Semarang, Rabu [ANTARA/I.C. Senjaya]
Baca 10 detik
  • Dokter senior Zara Yupita divonis 9 bulan penjara karena terbukti memeras residen junior PPDS Undip.
  • Hakim tegaskan 'tradisi' senioritas dan iuran liar untuk joki tugas adalah pemerasan melawan hukum.
  • Putusan ini jadi preseden hukum, mengubah praktik perpeloncoan di dunia medis menjadi pidana.

SuaraJawaTengah.id - Garis antara tradisi senioritas yang kebablasan dengan tindak pidana pemerasan kini telah ditarik dengan tegas oleh pengadilan.

Vonis 9 bulan penjara terhadap Dokter Zara Yupita Azra, residen senior PPDS Anestesi Universitas Diponegoro, menjadi preseden hukum bahwa praktik pungutan liar (pungli) berkedok iuran di lingkungan pendidikan dokter spesialis adalah kejahatan.

Putusan yang dibacakan oleh Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin di Pengadilan Negeri Semarang pada Rabu (1/10/2025) ini seolah menjadi jawaban atas keresahan panjang mengenai kultur toksik di dunia pendidikan kedokteran.

Zara terbukti secara meyakinkan bersalah, meskipun hukumannya lebih ringan dari tuntutan jaksa selama 1,5 tahun.

Secara yuridis, perbuatannya dikategorikan sebagai pelanggaran pidana murni.

"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 368 Ayat 1 tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut," kata hakim saat membacakan amar putusan.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menguliti praktik yang selama ini mungkin dianggap 'lumrah'. Zara, selaku residen angkatan 76, terbukti mengorganisir dan memaksa para juniornya di angkatan 77 untuk menyetor sejumlah uang.

Dana tersebut dialokasikan untuk berbagai kepentingan yang sangat eksploitatif, mulai dari penyediaan makan bagi senior yang sedang jaga (prolong) hingga hal paling ironis: membiayai joki untuk mengerjakan tugas-tugas para residen senior.

Lebih dari sekadar kasus pemerasan biasa, hakim menyoroti akar masalahnya, yaitu "relasi kuasa bersifat hierarki." Sistem inilah yang menjadi mesin penindasan, di mana junior berada dalam posisi lemah dan terpaksa tunduk. "Kekuasaan satu pihak atas pihak lainnya," tambah hakim, menegaskan adanya ketidakseimbangan kuasa yang absolut.

Baca Juga: Tragedi Maut Mahasiswi Undip: Polisi Kantongi Nama Tersangka Perundungan

Struktur penindasan ini, menurut hakim, telah dilembagakan secara turun-temurun melalui "sistem tingkatan antarangkatan" serta "pasal dan tata krama anestesi" yang diciptakan secara sepihak dari senior untuk junior.

Artinya, pemerasan tersebut dibungkus dengan narasi tradisi dan aturan tak tertulis yang wajib dipatuhi.

Putusan ini juga membawa pesan sosial yang kuat. Hakim menilai perbuatan terdakwa secara langsung bertentangan dengan semangat pemerintah untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan terjangkau.

Alih-alih mendidik, praktik semacam ini justru melanggengkan budaya kekerasan dan membebani para calon dokter spesialis dengan biaya-biaya ilegal.

Menanggapi putusan tersebut, baik pihak terdakwa maupun jaksa penuntut umum sama-sama memilih untuk menggunakan haknya untuk berpikir selama tujuh hari sebelum menentukan langkah hukum selanjutnya.

Load More