Selain diskriminasi, waria di Kota Semarang kerap kali menjadi korban pungutan liar (Pungli) oleh sejumlah preman yang berada di dekat pangkalan waria.
Mulai pukul 21.30 WIB, waria Kota Semarang mulai kumpul di tempat pangkalan. Di Kota Semarang terdapat dua pangkalan yang ia sebut pangkalan A dan pangkalan B. Kedua pangkalan tersebut juga mempunyai masalah yang berbeda-beda.
Untuk pangkalan A, masalah yang kerap dialami para waria adalah pungli. Biasanya para waria diminta uang sebesar Rp 20 ribu setiap orang. Rata-rata setiap malam waria yang mangkal di pangkalan A berjumlah paling sedikit 10 orang.
“Tidak berani melawan takut kalau misal terjadi sesuatu, kita memilih untuk memberikan uang meski belum dapat uang,” ungkapnya.
Baca Juga:KSAD Ditunjuk Jadi Wakil Ketua Komite Covid-19, DPR Bilang Begini
Sementara untuk pangkalan B para waria kerap kali mendapatkan teror seperti dilempar batu, plastik berisi air comberan, plastik berisi berak dan plastik berisi air kencing. Teror seperti itu, hampir setiap hari terjadi.
Meski setiap terjadi teror serupa para waria sudah berusaha untuk mencarinya namun masih saja tidak ketemu. Sampai saat ini, para waria masih belum mengetahui untuk apa dan siapa dalang dan pelaku di balik teror tersebut.
“Sebenarnya kita ingin tau agar mengerti alasannya. Kalau tiba-tiba meneror seperti itu kan tidak baik,” imbuhnya sembari melihat catatannya.
Menurutnya, masalah yang menimpa para waria di Kota Semarang membuat hatinya pilu. Apalagi Hani sendiri merasakan betapa sulitnya mencari penghasilan di tengah pandemi Covid-19 seperti ini.
Selama masa pandemi Covid-19 di Kota Semarang, penghasilan dari kerja Hani belum cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Beda dengan sebelum pandemi.
Baca Juga:Cara Cairkan Duit Rp 600 Ribu untuk Pekerja Bergaji di Bawah Rp 5 Juta
“Ya kalau dibilang cukup ya tidak, dibilang tidak cukup ya cukup. Pokoknya dicukup-cukupkan deh,” ujarnya.
Sebagian besar, waria di Kota Semarang membuka tempat salon, termasuk Hani. Sebelum pandemi Hani mempunyai salon yang berada di lokalisasi Sunan Kuning. Dalam sehari ia dapat laba Rp 400ribu setiap harinya.
Jika ditotal, penghasilan Hani dalam satu bulan sekitar Rp 6 juta hasil dari bekerja sebagai tukang salon. Karena ditutup pendapatannya berkurang. Hal itu membuat Hani bergelut di dunia malam sebagai pekerja seks.
Dari pekerjaanya itu, dalam sehari Hani bisa dapat penghasilan sekitar Rp300 ribu. Masalah tidak habis di situ saja, ketika masa pandemi Covid-19 banyak hotel langganan yang menolak karena takut.
“Akhirnya aku merasa kasihan kepada teman-teman. Banyak yang nganggur dan akhirnya tidak mendapatkan penghasilan. Padahal mereka mengeluarkan biaya kost dan makan setiap hari,” keluhnya.
Bahkan beberapa waria mendapatkan perlakuan yang lebih represif dari aparat penegak hukum, Satpol Pamong Praja(PP) Kota Semarang.