Awas Pamali! Ini Tradisi Budaya Wajib di Loram Kabupaten Kudus

Selain meninggalkan masjid, Sultan Hadirin turut meninggalkan tradisi dan budaya di Loram Kabupaten Kudus

Budi Arista Romadhoni
Senin, 19 April 2021 | 20:05 WIB
Awas Pamali! Ini Tradisi Budaya Wajib di Loram Kabupaten Kudus
Masjid At-Taqwa yang berlokasi di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. [Suara.com/Fadil AM]

SuaraJawaTengah.id - Selain meninggalkan bangunan fisik seperti Masjid Wali Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Sultan Hadirin turut meninggalkan tradisi dan budaya yang masih langgeng dipegang masyarakat. Hal itu sebagai bukti menyebarkan agama Islam Kota Kretek tersebut.

Pengurus Masjid dan Juru Pelihara Cagar Budya, Afroh Aminuddin mengatakan, tradisi dan budaya yang masih dilestarikan di Loram itu adalah Kirab Kemanten dan Sodaqoh Sego Kepel (sedekah nasi kepal).

“Itu tradisi budaya yang saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Loram Kulon, Loram Wetan, dan sekitarnya. Termasuk masyarakat yang masih memiliki garis keturunan (trah) Loram,” ujarnya saat ditemui Suara.com di Masjid At-Taqwa nama lain Masjid Wali Loram, Senin (19/4/2021).

Sodaqoh Sego Kepel

Baca Juga:Perhatian Warga Kudus! Tilang Elektronik Diterapkan, Ini Lokasi CCTV-nya

Sodaqoh sego kepel adalah tradisi dimana masyarakat yang memiliki hajat seperti sunatan, kelahiran, syukuran, nadzar, dan sebagainya, mengirimkan nasi kepal bejumlah tujuh lengkap dengan lauk botok bandeng untuk disedekahkan ke Masjid Wali Loram.

“Nasinya itu dikepal dibungkus daun jati atau pisang. Kalau botoknya terserah, kalau dulu ikan bandeng. Karena mudah diperoleh dan didapat saat itu,” ungkapnya.

Botok dipilih lantaran Sultan Hadirin tidak ingin memberatkan masyarakat yang ingin melakukan Sodaqoh Sego Kepel.

“Beliau melihat ekonomi masyarakat saat itu, botok ini ringan dibandingkan ayam ingkung. Padahal selamatan biasanya ingkung,” bebernya.

Anga tujuh dalam sedekah ini melambangkan pitu dalam bahasa Jawa yang artinya pituduh (petunjuk), pitutur (wejangan), dan pitulung (pertolongan).

Baca Juga:Dua Pelajar Kudus Raih Pengharagaan Tingkat Internasional

“Dengan harapan dengan bersedekah bisa mendapatkan pertolongan dari Tuhan YME,” jelas Afroh.

Budaya ini, terang Afroh dimulai saat Sultan Hadirin menyempurnakan pembangunan Gapura Padureksan pada tahun 1596. Ada seorang warga yang baru masuk Islam ingin mengadakan selamatan.

“Orang itu meminta tahu caranya, oleh beliau disarankan untuk membuat nasi kepal untuk kemudian disedekah kepada warga yang berada di situ,” terangnya.

Warga trah Loram meyakini, jika dalam suatu urusan tidak melakukan tradisi tersebut. Maka bakal ditimpa kemalangan.

“Ada yang sunat sebulan tak sembuh karena orangtuanya tak mau sodaqoh sego kepel. Paman gak tega, diam-diam bawa nasi kepel, besoknya bocah tersebut sembuh dan sudah main bola,” ungkap Afroh.

Ada pula warga yang mengalami keanehan karena tidak bersedekah sebelum memulai pekerjaan.

“Di sini produsen bata merah kan masih banyak. Ada yang gak bersedekah, tiga hari lebih bata merahnya dibakar gak matang. Bingung, setelah bersedekah langsung jadi,” kisahnya.

Kirab Kemanten

Kirab Kemanten ini bermula, setelah banyak masyarakat yang memeluk agama Islam. Setelah mereka tahu bahwa salah satu bulan yang baik untuk melangsungkan pernikahan adalah bulan besar.

Maka masyarakat berbondong-bondong meminta Sultan Hadirin untuk datang kepernikahan. Berhubungan dengan jarak dan efisiensi waktu, sehingga semua bisa terpenuhi.

“Sultan Hadirin dawuh agar akad nikah cukup laksanakan di masjid. Kalau tidak dilakukan di masjid, beliau berpesan agar setelah akad pasangan pengantin memutari gapura di depan masjid,” beber Afroh.

Setelah itu, jadilah tradisi Manten Ngebengi Gapuro (manten memutari gapura). Hanya saja setelah Gapura Padureksan jadi bangunan cagar budaya. Namanya dirubah menjadi Kirab Kemanten.

Terknisnya, pasangan pengantin berjalan dari gapura bagian selatan menuju ke utara di depan masjid secara memutar.

Sebelum memasuki gapura sebelah selatan, mereka secara suka rela memasukkan uang ke kotak amal yang berada di sana, dan dilanjutkan mengisi buku tamu karena gapura tersebut bangunan cagar budaya.

Sesudah itu mempelai diminta melanjutkan memutari gapura sebelah utara, dan dilanjutkan menuju pintu gapura bagian tengah. Di situ, pasangan yang baru menikah itu memanjatkan doa yang berada di atas pintu.

“Berputarnya cukup satu kali, tapi ada warga yang percaya berputar 3 hingga 7 kali,” ungkapnya.

Seperti halnya sedekah nasi kepal, bagi trah Loram maupun warga Loram yang tidak melakukan ritual ini, maka bakal mendapatkan pengalaman di luar nalar.

“Ada yang mempelai prianya malamnya kesurupan, siangnya diminta memutari gapura langsung sembuh,” jelasnya.

Adapula seorang lelaki asal Pasuruan datang untuk bertanya, lantaran 5 tahun menikah belum juga diberikan keturunan.

“Orang itu tanya ke saya, setelah tak runtut ternyata istrinya masih keturunan warga Loram. Lalu beberapa hari kemudian, dia datang bersama istrinya untuk melakukan kirab kemanten. Alhmadulillah, kersane gusti Allah, satu tahun kemudian datang dan bilang kalau istrinya sudah melahirkan,” turutnya.

Hukum sodaqoh sego kepel dan kirab kemanten, ditegaskan Afroh, wajib secara tradisi. Tentunya disertai niat baik dan tujuan benar dengan tidak menyimpang dari ajaran agama.

Sumur Penyembuh

Selain gapura dan masjid, bukti peninggalan Sultan Hadirin dalam menyebarkan agama Islam adalam sumur di selatan masjid.

Sebagian masyarakat percaya air sumur yang memiliki kedalaman kurang lebih 4 meter itu dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit.

Masyarakat lainnya juga menggunakan air sumur untuk memandikan sesuatau sebagai bentuk selamatan agar terhindar dari marabahaya.

“Air sumur ini tidak pernah surut semenjak ada saat digali Sultan Hadirin sebagai tempat bewudlu dan bersuci. Meski musim kemarau tetap ada airnya,” tandasnya.

Kontributor : Fadil AM

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak