Sebelum meninggal dunia di kota penjara Akka, Palestina (sekarang Israel) pada tahun 1892. Baha’ullah banyak menuliskan wahyu yang diterimanya selama 40 tahun. Kurang lebih ada 100 buku tercipta, khususnya Al Aqdas yang menjadi kitab suci agama Baha’i.
Dalam wasiatnya, Baha’ullah menunjuk putra sulungnya, Abdul Baha’ sebagai penafsir yang sah atas catatan religius tersebut, sekaligus pemimpin pusat perjanjian.
Setelah Abdul Baha’ wafat pada tahun 1921, kepemimpinan agama Baha’i diteruskan oleh cucu sulung Abdul Baha’ yaitu Shoghi Effendi Rabbani sebagai Wali agama Baha’i.
Shoghi banyak mendirikan lembaga masyarakat agama Baha’i, termasuk menerjemahkan tulisan Baha’ullah dan Abdul Baha’ ke dalam bahasa Inggris.
Baca Juga:Ini Identitas Korban Kecelakaan Maut di Jalan Pantura Pati-Kudus
Jejak Baha’i di Indonesia
Agama Baha’i masuk ke Indonesia, tidak lepas dari peran Jamal Effendi dan Mustafa Rumi. Dua orang saudagar itu, kali pertama menginjakkan kaki di Batavia pada 1878. Mereka juga tercatat melakukan perjalanan ke Surabaya, Bali, Makasar, Parepare, dan Bone.
“Tidak sampai di situ. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Shoghi Effendi yang merupakan Wali Baha’i waktu itu, menugaskan sejumlah dokter melalui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena saat itu Indonesia kekurangan tenaga medis,” kata Mukmin Baha’i, Sanusi.
Para dokter itu tersebar seantero nusantara. Sementara di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang mengemban tugas kemanusiaan ialah dr Khamzi, seorang dokter spesialis asal Persia pada tahun 1950.
“Saat itu di Pantura timur Jawa Tengah seperti Rembang, Blora, Pati, hingga Demak banyak yang belajar (agama Baha’i),” jelas warga Desa Cebolek Kidul, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati itu.
Baca Juga:Merinding! Detik-detik Kecelakaan Maut di Pati yang Tewaskan 4 Orang
Di Pati, agama Baha’i dikenal selepas perjumpaan antara dr Khamzi dan Sutiyono yang saat itu berprofesi sebagai pendidik di Rembang pada awal tahun 1958.