Khusus untuk Pati pada tahun 2021 berdasarkan data suara.com di lapangan, tercatat hanya tinggal 19 pemeluk agama Baha’i.
Stigma dan Diskriminasi
Persoalan muncul pada tahun 1972, ketika salah satu institusi pemerintah di daerah mengeluarkan surat yang mengacu pada Keppres Nomor 264 Tahun 1962. Tidak sedikit umat agama Baha’i yang ditangkap dan dipenjara.
“Banyak umat agama Baha’i yang dipenjara, termasuk di Pati. Lalu yang PNS diancam dipecat dari jabatannya jika masih berkeyakinan agama Baha’i. Saya sendiri, tahun 1989-1999 harus keluar-masuk Kejaksaan karena persoalan ini,” tutur Sanusi.
Baca Juga:Ini Identitas Korban Kecelakaan Maut di Jalan Pantura Pati-Kudus
Masalah tersebut tuntas, tatkala umat agama Baha’i Cebolek Kidul meminta bantuan Abdurrahman Wahid yang saat itu menjadi Ketua PBNU Pusat (Gus Dur belum menjabat sebagai presiden RI).
“Dikasih surat dari Gus Dur untuk disampaikan kepada Bupati Pati Sauji agar perkaranya dihentikan. Berpesan jangan dititipkan siapa-siapa karena pernah dititipkan, suratnya tidak sampai,” ungkap Mukmin Baha’i, Ibu Jamali.
Selain itu, keadilan dalam administrasi kependudukan pun belum dirasakan sepenuhnya oleh pemeluk agama Baha’i di kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani. Perkawinan mereka hanya tercatat dalam surat keterangan nikah Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia.
Sementara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Pati, belum mau mengeluarkan akta perkawinan selain enam agama resmi dan pemeluk aliran kepercayaan.
Lantaran belum dikeluarkannya akta perkawinan tersebut, berpengaruh pada data akta kelahiran, Kartu Keluarga (KK), dan KTP.
Baca Juga:Merinding! Detik-detik Kecelakaan Maut di Pati yang Tewaskan 4 Orang
Bendahara Majelis Rohani Setempat (MRS) Agama Baha’i Cebolek Kidul, Sulistiyani mengatakan, dalam akta kelahiran misalnya, di situ hanya tertulis nama sang ibu tanpa nama ayah. Padahal lumrahnya akta seperti itu, diberikan kepada anak di luar nikah.