“Hak sipil kami banyak yang belum terpenuhi. Meski begitu tidak membebani kami sebagai umat agama Baha’i karena kami diajarkan untuk memberikan kesetiaan kepada pemerintah. Saya kira semua agama pada asal mulanya juga mengalami hal yang sama,” ujarnya.
Uniknya di beberapa daerah di luar Jawa, imbuh Sulistiyani, akta perkawinan dan kelahiran dicatat oleh dinas setempat.
“Di Jawa sendiri malah yang masih kesulitan. Di Tenggarong (Kalimantan Timur), Timika, dan daerah lain boleh atas nama ayah dan ibu akte kelahiran padahal beragama Baha’i,” ungkap Sulistiyani.
Anak-anak yang beragama Baha’i di Pati pun tidak luput dari kemalangan. Bahkan, ada siswa yang dikeluarkan dari sekolah negeri karena keyakinanannya berbeda dengan enam agama yang “diakui”.
Baca Juga:Ini Identitas Korban Kecelakaan Maut di Jalan Pantura Pati-Kudus
Ada pula siswa beragama Baha’i yang tidak diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan agama oleh Kemenag Pati melalui surat Nomor Kd.11.18/2/BA.00/1303/2012. Dalihnya, di Indonesia tidak ada agama yang bernama agama Baha’i.
Padahal dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 2 disebutkan, bahwa anak didik diberikan pelajaran agama sesuai dengan agama yang dipeluknya.
Kesulitan demi kesulitan terus mendera umat agama Baha’i di Cebolek Kidul, bahkan saat seorang umat meninggal dunia pada tahun 2010, jenazahnya harus merana.
Pasalnya sejumlah warga dan pemerintah desa menolak, jika almarhum dikebumikan di pemakaman umum setempat. Begitupun saat hendak dimakamkan di tanah pribadi (ladang/kebun).
Alternatif terakhir, pihak desa mengizinkan pemakaman di tanah desa yang berada di area pertambakan.
Baca Juga:Merinding! Detik-detik Kecelakaan Maut di Pati yang Tewaskan 4 Orang
Hanya saja, lokasi makam ini sangat jauh dari permukiman dan susah diakses. Tercatat sudah ada 6 penganut agama Baha’i yang dimakamkan di sana.