SuaraJawaTengah.id - Maemunah (50 tahun) tergopoh-gopoh menyebrangi jembatan gantung di Desa Rejosari, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang. Perjalanan 50 meter yang menakutkan.
Sambil menggendong keranjang sayuran, langkah Maemunah sesekali terhenti saat berpapasan dengan motor dari arah berlawanan. Beban motor yang melintas membuat jembatan gantung berlantai bambu ini berayun ke kiri dan kanan.
“Saya takut kalau nyebrangnya bonceng motor. Soalnya berat bawa dagangan. Tapi ya terpaksa,” kata Maemunah dengan wajah lega setelah berhasil tiba di seberang jembatan gantung.
Maemunah warga Dusun Karang, Desa Rejosari, setiap pagi berjualan sayur di Pasar Kebonpolo, Kota Magelang. Jembatan ini jalur terdekat melintas menuju wilayah kota.
Baca Juga:Ya Ampun! Jembatan di Magelang Ini Diberi Nama 'Seribu Janji', Alasannya Bikin Miris
Diantar suaminya Sudarto (58 tahun), saban hari Maumunah meniti jembatan yang melintangi Sungai Progo ini. Sudarto yang membawa motor biasanya menyebrang lebih dulu dan menunggu di ujung jembatan.
“Setiap hari ya lewat jembatan ini. Ya nggak enak to, lha wong goyang-goyang terus. Bahaya,” ujar Sudarto.
Puluhan bahkan mungkin ratusan warga melintasi jembatan ini setiap hari. Kebanyakan warga Kecamatan Bandongan, Magelang yang bekerja atau berjualan di wilayah Kota Magelang.
“Kalau perlu ya jembatan ini dibangun to. Biar enak jalannya. Warga-warga itu pinginnya ya jembatan dibangun biar nggak bahaya,” ujar Sudarto.
Dari segi keselamatan, jembatan gantung Kramat sungguh tidak aman. Lantai jembatan berupa susunan bilah bambu yang licin jika basah.
Baca Juga:Tak Sanggup Melayani Pasien Covid-19, IGD RSUD Tidar Kota Magelang Tutup
Jembatan juga tanpa tepi pengamanan, sehingga orang yang lewat rawan jatuh ke sungai yang tingginya sekitar sekitar 10 meter. Kawat penahan jembatan sudah berkarat dan tampak tidak lagi kokoh.