Pada agresi Militer Belanda II, Batalyon Lemah Lanang mempertahankan front Timur Kali Kemit mulai daerah Karanganyar hingga Petanahan.
Mereka berhasil menghambat laju militer Belanda menyerang Ibu Kota sementara Republik Indonesia di Yogyakarta (doorstot naar Djokdja), pada 18 Desember 1948.
Meski akhirnya berhasil menerobos pertahanan Batalyon Lemah Lanang, Belanda kehilangan banyak personel di medan pertempuran sepanjang Bandung Sruni, Kewajan, hingga Wonosari.
Bumi Hangus Somalangu
Baca Juga:Positif Covid, Sejumlah Calon Penumpang Tetap Ingin ke Bandara Ahmad Yani
Sejak awal pembentukannya, Batalyon Lemah Lanang kerap bergesekan dengan tentara reguler Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Batalyon Lemah Lanang “setengah hati” menerima peleburan laskar dalam pasukan reguler APRIS.
Selain berasal dari kultur masyarakat yang berbeda (mayoritas laskar adalah santri dan petani), penggabungan pasukan sesuai kebijakan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (Re-Ra) angkatan perang, berpotensi memangkas jumlah laskar secara besar-besaran.
Anggota laskar yang tidak pernah mengenyam pendidikan militer baik PETA maupun KNIL, terancam dibuang keluar struktur ketentaraan RIS.
Insiden pemicu konflik terjadi pada akhir Juli 1950. Salah seorang anggota AOI asal Somalangu (dalam sejumlah tulisan disebut bernama Khurmen), tewas dipukuli tentara APRIS yang sedang berpatroli.
Khurmen yang kedapatan membawa senjata api ditangkap polisi militer APRIS di dekat Stasiun Kebumen. Saat itu tentara sedang gencar menertibkan laskar bersenjata.
Baca Juga:Disebut Turut Menikmati Fee Proyek, Hakim Intruksikan Periksa 25 DPRD Muara Enim
Insiden tersebut memicu aksi balasan pada 31 Juli 1950. Pemuda AOI balik memukuli salah seorang tentara APRIS hingga tewas.