Sore harinya, Kolonel Sarbini memerintahkan Syekh Mahfudz menghadap ke Markas APRIS di Magelang. Syekh Mahfudz tidak dapat memenuhi panggilan dan berjanji akan melapor keesokan harinya.
Betapa terkejutnya Syekh Mahfudz mengetahui pada pagi hari, tanggal 1 Agustus, Somalangu sudah dikepung tentara APRIS di bawah pimpinan Letkol Ahmad Yani.
Letkol Ahmad Yani yang memimpin pasukan bersandi “Kuda Putih” menyerbu Somalangu dan memerintahkan Syekh Mahfudz menyerah.
“Saat penyerangan, di sini bumi hangus. Semua habis. Para laskar itu tunggang langgang. Mereka tidak mau tinggal disini karena takut ditangkap, diciduk, diteror dan lain sebagainya,” kata Hidayat Aji Pambudi.
Baca Juga:Positif Covid, Sejumlah Calon Penumpang Tetap Ingin ke Bandara Ahmad Yani
Dalam buku Kuntowijoyo “Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi” pertempuran Laskar AOI dan tentara APRIS berlangsung 40 hari.
Sekitar 85 rumah di Somalangu rusak atau dibakar. Beruntung masjid di kompleks Pondok Pesantren Somalangu terhindar dari kerusakan. Jumlah korban diperkirakan mencapai 1.500 hingga 2 ribu jiwa.
Sumpah Syekh Mahfudz
Setelah pertahanan Angkatan Omat Islam di Gunung Pager Kodok dijebol APRIS, pasukan mundur ke arah barat menuju Cilacap. Pertempuran besar meletus di daerah Panjer, Kecamatan Kebumen.
Saking sengitnya serangan pasukan APRIS, konon di lokasi yang saat ini berdiri kantor Polres Kebumen, Syekh Mahfudz Somalangu sempat mengutuk Ahmad Yani yang bakal tewas menyedihkan.
Baca Juga:Disebut Turut Menikmati Fee Proyek, Hakim Intruksikan Periksa 25 DPRD Muara Enim
Di kemudian hari, saat peristiwa G30S/PKI meletus, Ahmad Yani termasuk salah satu perwira tinggi ABRI yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan. Jenazah Ahmad Yani dimasukkan dalam sumur di kawasan Lubang Buaya.