Ideologi Kiri Argo Ismoyo, Sang Wali Kota Magelang di Pusaran PKI

Kisah Argo Ismoyo yang terjebak dalam ideologi kiri dan PKI membuatnya hilang tanpa jejak

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 30 September 2021 | 17:00 WIB
Ideologi Kiri Argo Ismoyo, Sang Wali Kota Magelang di Pusaran PKI
Kuburan Argo Ismoyo di kompleks makam keluarga besar R Soemodilogo di Potrobangsan IV. [suara.com/ Angga Haksoro Ardi].  

SuaraJawaTengah.id - Pencarian data terkait riwayat hidup Argo Ismoyo akhirnya mati muda. Semua pintu seolah ditutup saat nama Wali Kota Magelang periode 1958-1965 ini disebutkan. Apakah sang wali kota terlibat dengan PKI?

Sumber terkait mantan orang nomer satu di Kotapraja Magelang (sekarang Kota Magelang) itu sangat minim. Apalagi disaat PKI sudah lenyap di Indonesia. 

Pada kantor Arsip Kota Magelang, ditemukan nama Argo Ismoyo dalam daftar Wali Kota Magelang dari masa ke masa. Sumber data ini sama seperti yang bisa kita temui di arsip internet.

Angka tahun kelahiran Argo Ismoyo baru kemudian saya temukan pada batu nisan di kompleks makam keluarga besar R Soemodilogo. Kompleks makam ini berhimpitan dengan permukiman padat Potrobangsan IV.

Baca Juga:DPR Minta TNI Jelaskan Tudingan Gatot Nurmantyo Soal Hilangnya Diorama G30S/PKI

Pada nisan sederhana berbahan batu alam itu terpahat 12 Desember 1926 sebagai tanggal kelahiran Argo Ismoyo. Beliau meninggal 5 Januari 2003.

Tidak ditemukan data hubungan antara Argo Ismoyo dengan R Soemodilogo yang masih keturunan Bupati Menoreh, Raden Tumenggung (RT) Ario Soemodilogo.

Menoreh adalah cikal bakal Kabupaten Temanggung yang saat itu menempati ibu kota di Parakan. Putra dan cucu RT Ario Soemodilogo yaitu RT Soemodilogo II dan RT Soemodirjo pernah memimpin Kabupaten Temanggung.

Di kompleks kuburan keluarga R Soemodilogo, dimakamkan Wali Kota Magelang periode 1956-1958, R Wibowo Hellie. Letak makam Argo Ismoyo lebih kebelakang, berdekatan dengan rumah-rumah warga. 

Pertanyaannya, mengapa Argo Ismoyo dimakamkan di kompleks makam keluarga R Soemodilogo? Apakah masih ada hubungan kerabat antara keduanya?  

Baca Juga:CEK FAKTA: Istana Resmikan PKI Boleh Berdiri di Indonesia, Benarkah?

“Literatur yang menulis tentang beliau, data arsip tentang Argo Ismoyo sangat minim. Sehingga untuk dikuak, perlu tantangan tersendiri bagi para sejarahwan,” kata pegiat sejarah Kota Tua Magelang, Bagus Priyana.

Harapan mendengar kisah hidup sang Wali Kota dari sumber primer, muncul saat seorang kenalan memberikan nomer telepon salah seorang anak Argo Ismoyo.

Sayang permintaan wawancara yang saya kirim melalui pesan WhatsApp, tidak mendapat respon. Upaya menghubunginya lewat telephone juga tak membuahkan hasil.

Nomer itu sempat sekali menghubungi. Saat diangkat, tak ada sahutan di ujung telephone. Hanya terdengar sayup suara perempuan dan anak kecil di kejauhan.  

Sangat bisa dipahami jika ada pihak yang merasa tidak nyaman jika cerita Argo Ismoyo diungkap. Trauma politik menyebabkan banyak orang memilih mengubur dalam-dalam kisah keterlibatan anggota keluarga mereka pada peristiwa ’65.

Catatan Pemilu 1957

Ilustrasi Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat menguasai jawa tengah. [Suara.com/Rochmat]
Ilustrasi Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat menguasai jawa tengah. [Suara.com/Rochmat]

Argo Ismoyo terpilih menjadi Wali Kota setelah Partai Komunis Indonesia memenangkan pemilu daerah Kotapraja Magelang tahun 1957. Dua tahun sebelumnya, pemilihan umum pertama digelar di Indonesia.

Pemilu nasional tahun 1955 diadakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Konstituante. Sebanyak 28 partai politik menduduki kursi DPR.

Berdasarkan jumlah suara terbanyak, kursi mayoritas secara berututan diduduki Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia.  

Berhubung masa jabatan anggota DPRD habis pada 17 Juni 1957, pemilu lokal wajib digelar untuk memilih anggota dewan daerah saat itu juga.

Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Kotapraja Magelang dijadwalkan menggelar pemilu lokal 2 kali. Tanggal 14 Juli untuk masyarakat umum dan 17 Juli 1957 untuk angkatan perang dan polisi. 

Tercatat 44 ribu dari 80 ribu jumlah penduduk Kotapraja Magelang terdaftar sebagai calon pemilih. Mereka dibagi dalam 81 tempat pemilihan suara yang disebar di 11 desa.   

Dari 44 ribu pemilih, PPD Kotapraja Magelang hanya meloloskan 37.597 surat suara yang layak dihitung. Kantor berita Antara pada 26 Juli 1957 menuliskan peristiwa bersejarah itu.

Hasilnya Partai Komunis Indonesia mendapat 17.976 suara. Jauh meninggalkan PNI dan NU yang masing-masing memperoleh 6.409 dan 3.108 suara.

Laporan berita Antara berjudul “Perhitungan Suara di Kota Magelang Selesai: PKI Leading di Kota, NU Leading di Kabupaten”, menunjukkan perbedaan menyolok konsentrasi masa pendukung partai di Kotapraja Magelang dengan Kabupaten Magelang.

Penelitian mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Khusna Indah Wijayanti, menjelaskan penyebab terjadinya perbedaan suara dukungan.

Di Kotapraja Magelang, PKI mendapat dukungan dari kelas buruh kalangan Jawa abangan. Jumlah mereka saat itu mayoritas di Kotapraja Magelang.

Pendukung NU dan Masyumi hanya sedikit dari para pedagang yang bermukin di Kauman, Wates, Cacaban, Boton, dan Jurangombo. Sebagian wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Magelang yang menjadi basis massa muslim pondok pesantren.

Golongan abangan sendiri terbelah mendukung PKI dan PNI. Partai Nasional Indonesia didukung para priyayi abangan, sedangkan kaum buruhnya solid mendukung PKI.

Basis kekuatan PKI pada pemilu lokal Kotapraja Magelang berasal dari kaum buruh perkotaan dan buruh perusahaan perkebunan. Pengorganisiran buruh dimotori Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Meski diikuti 12 partai politik, hanya 7 partai yang berhak menduduki 15 kursi Anggota Dewan Kotapraja Magelang. PKI mendapat 7 kursi, PNI 3 kursi, sedangkan Masyumi, NU, Partai Katolik, Parkindo, dan Baperki masing-masing hanya mendapat 1 kursi.   

Perolehan suara lebih dari 50 persen, menjadikan PKI sebagai partai dominan yang menguasai DPRD Kotapraja Magelang. PKI bebas memilih siapa yang akan ditunjuk sebagai Wali Kota.

“Wali Kota yang menjabat adalah Argo Ismoyo. Dimana dia menjadi semacam simpatisan atau dedengkotnya PKI,” ujar Bagus Priyana.

Kota Magelang dalam Pusaran Konflik

Tujuh tahun lamanya Argo Ismoyo menjabat Wali Kota Magelang. Beliau dicopot dari jabatannya usia pecah peristiwa berdarah 30 September 1965 (G30S/ PKI) di Jakarta.

Dalam buku “Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya” yang disusun dan diterbitkan Dinas Sejarah Militer Kodam VII/ Diponegoro, Kotapraja Magelang menjadi salah satu target wilayah pembersihan dari sisa-sisa pemberontak.

Tanggal 21 Oktober 1965 sekira pukul 21.00 WIB, pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin Kolonel Sarwo Edhi Wibowo bertolak dari Semarang menuju Magelang.

Sesampainya di Magelang, pasukan RPKAD yang diperkuat personel Ki Tejo dari Yon II Magelang menggelar unjuk kekuatan (show of force). Setelah unjuk kekuatan selesai, massa rakyat mengadakan aksi balasan.

Massa membakar gedung-gedung yang disanyalir milik PKI, Baperki, dan Chung Hua Tsung Hui (CHTH) -organisasi sosial warga etnis Cina-.

Pada halaman 575 buku “Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya” ditulis: “Gedung ex Wali Kota Argo Ismoyo yang menjadi tokoh PKI tidak luput dari sasaran dirusak dan dibakar.”

“Beberapa saksi mata mengatakan di sini terjadi kerumunan massa yang menuntut Wali Kota Magelang dicopot. Kemudian rumah Argo Ismoyo itu dibakar di daerah Gladiol,” kata Bagus Priyana.

Masih menurut buku terbitan Kodam VII/ Diponegoro, “Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya”, pada 28 Oktober 1965 atau seminggu setelah RPKAD melakukan pembersihan di Magelang, jabatan Argo Ismoyo digantikan Kapten Hadi Sunaryo sebagai Pd Wali Kota Magelang.

Argo Ismoyo sendiri sempat menjalani sidang di Pengadilan Negeri Magelang. Berkas perkara keterlibatannya dalam G30S/ PKI, kini tersimpan di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah.

Pasca peristiwa ’65, catatan sejarah Argo Ismoyo kembali gelap. Tidak diketahui dimana beliau tinggal dan apa aktivitasnya hingga meninggal pada 5 Januari 2003.

Apakah sempat ditahan di penjara tahanan politik seperti para tokoh PKI lainnya? Atau bahkan mungkin dibuang ke Pulau Buru? Sementara belum ditemukan bukti kuat yang bisa menjawab semua pertanyaan itu.

Menjelang peringatan hari jadi Kota Magelang ke-1.113 (tahun 2019), Wali Kota Magelang, Sigit Widyonindito menziarahi makam Argo Ismoyo dan R Wibowo Hellie di Potrobangsan IV.

Di kedua makam tersebut, Sigit melakukan tabur bunga dan mengirim doa kepada pejabat wali kota pendahulunya. Ziarah serupa juga dilakukan di makam mantan Wali Kota Mukahar Rono Hadiwijoyo di Kota Pekalongan, Moch Subroto di Klaten, dan Rudy Sukarno di Sleman, Yogyakarta.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini