Setelah pertahanan Angkatan Omat Islam di Gunung Pager Kodok dijebol APRIS, pasukan mundur ke arah barat menuju Cilacap. Pertempuran besar meletus di daerah Panjer, Kecamatan Kebumen.
Saking sengitnya serangan pasukan APRIS, konon di lokasi yang saat ini berdiri kantor Polres Kebumen, Syekh Mahfudz Somalangu sempat mengutuk Ahmad Yani yang bakal tewas menyedihkan.
Di kemudian hari, saat peristiwa G30S/PKI meletus, Ahmad Yani termasuk salah satu perwira tinggi ABRI yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan. Jenazah Ahmad Yani dimasukkan dalam sumur di kawasan Lubang Buaya.
Menurut pengakuan tim evakuasi di Lubang Buaya, prajurit Marinir Pelda (Purn) Sugimin dan Pelda (Purn) Evert Julius Ven Kandou, kondisi jenazah Ahmad Yani paling mengenaskan.
Baca Juga:Cerita PKI Menangi Pemilu 1955 Hingga Kuasai DPRD Yogyakarta Selama Satu Dasawarsa
Ahmad Yani ditemukan dengan luka sayatan di leher hingga nyaris putus. Tali yang digunakan mengangkat Ahmad Yani juga sempat putus, sehingga jenazahnya yang sudah hampir ditarik keluar kembali jatuh ke dalam sumur.
Meski pandangan masyarakat soal sejarah Angkatan Oemat Islam (AOI) mulai terbuka, stigma mereka terlibat pemberontakan DI/TII masih melekat hingga sekitar tahun 1980an.
Terlebih buku-buku sejarah di sekolah seolah melegitimasi tuduhan bahwa AOI berafiliasi dengan pasukan DI/TII di Jawa Tengah pimpinan Amir Fatah.
Sekitar tahun 2000, penelitian pelurusan sejarah AOI mulai banyak dilakukan. Diskusi membahas apakah benar Angkatan Oemat Islam terkait DI/TII, tidak lagi tabu untuk digelar.
Tapi apakah luka sejarah benar-benar sudah pulih? Banyak pengikut setia Syekh Mahfudz yang ikut lari ke Cilacap, menghabiskan sisa hidup dalam persembunyian.
Baca Juga:Partai Politik di Bali Sekitar 1965: Gubernur Sutedja Berseteru dengan Wedastera Suyasa
Kiyai Thohir, guru mengaji di sebuah langgar kecil di Kampung Laut, Nusakambangan salah satunya. Hingga meninggal, Kiyai Thohir menutupi identitasnya sebagai mantan Angkatan Oemat Islam (AOI) Somalangu.