SuaraJawaTengah.id - Perayaan Imlek identik dengan kesenian barongsai. Sempat dilarang selama Orde Baru dan kurang diminati generasi muda etnis Tionghoa.
Melalui Instruksi Presiden No 14 tahun 1967, pemerintah Orde Baru melarang pertunjukan barongsai di tempat umum. Pertunjukan barongsai hanya boleh digelar terbatas untuk kalangan sendiri.
Masih membekas dalam ingatan Dimas Sandi Ironi (65 tahun), pertunjukkan barongsai dilarang selama tahun 1967 hingga 2000. Pertunjukan secara terbuka hanya boleh digelar di Klenteng Sam Poo Kong, Semarang.
Setahun 2 kali kelompok barongsai diberi kesempatan unjuk kebolehan pada Festival Cheng Hoo di bulan Agustus.
Baca Juga:Imlekan Nonton Wayang Potehi di Klenteng Tri Dharma Hong Tik Hian Surabaya
“Saat itu peraturan pemerintah, (pertunjukan) barongsai hanya boleh ada di Semarang. Ketika acara Sam Poo besar dan Sam Poo kecil itu diizinkan di Semarang,” kata Sandi.
Instruksi Presiden No 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, melarang warga keturunan Tiongkok menyelenggarakan kegiatan agama dan tradisi yang berpusat pada budaya negeri leluhur mereka.
Manifestasi kegiatan agama dan adat istiadat Cina, dianggap menghambat psikologis, mental, dan moril warga keturunan Tiongkok dalam asimilasi sebagai warga negara Indonesia.
Peristiwa G30S/PKI juga menjadi pemantik Inpres 14/1967 diberlakukan. “Saat itu saya berusia 7 atau 8 tahun. Ya sekitar Gestok (Gerakan 1 Oktober). Saya ingatnya setelah itu ada obong-obongan. Setelahnya barongsai dilarang.”
Sandi adalah generasi keempat keturunan etnis Tionghoa di Magelang yang memiliki keahlian membuat barongsai. Tidak hanya mahir membuat barongsai, Sandi juga ahli menarikannya.
Baca Juga:Koleksi Busana Warna Khas Imlek di Uniqlo, Bikin Tahun Baru Terasa Hangat dan Spesial
Keahlian membuat barongsai dipelajari Sandi dari simbah kakung, Liem Thiam Soen (Mbah Banjir). Sejak usia 5 tahun, Sandi yang memiliki nama Tionghoa, Liem Hauw Sian diasuh oleh sang kakek.
“Saya diemong oleh simbah kakung. Mulai diajari pengenalan barongsai sejak kecil. Kakek saya ini telaten dan mengerti cucu mana yang berbakat meneruskan kesenian membuat barongsai,” ujar Sandi.
Menurut Sandi, tidak mudah mempelajari pembuatan barongsai sesuai pakem. Butuh waktu lama belajar agar bisa membuat kerangka dan membentuk wajah barongsai tampak proporsional.
“Barongsai yang sesuai pakem, luwes, dan ganteng itu kayak apa. Nah itu yang tidak gampang. Saya dulu sudah mulai dibentuk seperti itu.”
Dituding Permainan Setan
Didaulat sebagai sesepuh kesenian barongsai, Sandi saat ini membina 9 kelompok (club) kesenian barongsai dalam wadah Bhinneka Nusantara. Wadah ini beranggotakan club independen dengan bendera masing-masing yang tersebar di wilayah eks Karesidenan Kedu dan Yogyakarta.
Tugas Sandi salah satunya membuat barongsai untuk kebutuhan anggota Bhinneka Nusantara. Hampir tiap tahun, masing-masing club membuat barongsai baru.
Pertunjukkan yang atraktif menyebabkan barongsai rusak setiap kali selesai dipakai. Tidak hanya membuat barongsai, Sandi yang berdarah Hokkian juga aktif melatih para pemain muda agar ada regenerasi.
Saat ditemui di rumahnya di Jalan Daha No 36, Kemirirejo, Kota Magelang, Sandi sedang mengecat barongsai berukuran kecil. Barongsai berbahan karton itu dibuat untuk anak-anak.
Di perkumpulan Bhinneka Nusantara, anggota usia anak juga kebagian jatah tampil dalam pertunjukan barongsai.
“Sebelum show pemain dewasa, anak-anak kecil saya beri kesempatan tampil diawal. Gerakannya lucu karena tidak pakai pakem. Tapi anak-anak ya seperti itu. Mereka senang.”
Dulu atraksi barongsai hanya dimainkan terbatas oleh para pemuda etnis Tionghoa. Tapi sekarang tidak lagi. Di Magelang dan Yogyakarta, mayoritas anggota club barongsai adalah orang Jawa.
Lamanya masa pelarangan pertunjukan barongsai, bisa jadi salah satu sebab warga Tionghoa kurang tertarik menekuni kesenian warisan nenek moyang mereka.
Penyebab lainnya salah persepsi para guru di sekolah swasta yang melarang anak-anak Tionghoa belajar tarian barongsai.
“Orang Tionghoa rata-rata sekolah di swasta. Guru-guru agama mereka tidak memahami kebudayaan Tionghoa. Salah menafsirkan bahwa main barongsai dianggap memainkan simbol setan,” kata Sandi.
Padahal kata Sandi tidak ada unsur mistik apalagi penggunaan simbol setan dalam kesenian barongsai. Dia memastikan, tidak satupun pemain barongsai kesurupan saat pertunjukkan. “Ini hanya tarian simbol keberuntungan.”
Mayoritas pemain barongsai sekarang justru orang Jawa beragama Islam. Sebab dalam ajaran Islam tidak ada larangan bermain barongsai.
“Di muslim tidak ada larangan. Kiayi-nya malah minta tolong kami untuk main di khataman Tegalrejo (Pondok Pesantren API Tegalrejo). Itu setiap ada khataman, kami yang bantu disana. Mulai dulu mendiang Gus Muh (KH Ahmad Muhammad Chudlori) sampai sekarang Gus Yusuf Chudlori.”
Menghidupi Barongsai
Sandi mengaku kegiatannya membuat barongsai bukan untuk tujuan komersil. Tidak ada target jumlah produksi barongsai karena pembuatannya hanya berdasarkan permintaan anggota.
Anggota cukup mengganti ongkos bahan yang berkisar Rp 5 juta- Rp 10 juta untuk satu set barongsai. Mahalnya biaya membuat barongsai karena banyak bahan sulit didapat.
Bulu-bulu barongsai yang halus misalnya, harus didatangkan dari Jakarta. Harga bulu-bulu itu lebih mahal dari harga kain bahan pakaian atau celana.
Uang pembuatan barongsai diambil dari kas kelompok yang disisihkan dari honor pertunjukan.
Hingga kini, Dimas Sandi Ironi alias Liem Hauw Sian masih rajin menyambangi club barongsai binaannya. Kehilangan kaki kanan akibat kekurangan albumin menahun tidak menyurutkan semangat Sandi mengajarkan kesenian yang dicintainya itu.
Kekurangan albumin dalam waktu lama menyebabkan jaringan pembuluh darah di kaki kanan Sandi mati perlahan. Dimulai dari kebas di kelingking yang menjalar ke jari kaki lainnya.
Semula Sandi menganggap biasa kebas di kelingkingnya. Setelah kebas tidak mereda selama 3 hari, Sandi baru curiga ada yang tidak beres dengan jari kakinya.
“Warna kelingking berubah lebih merah dibanding jari lainnya. Lama-lama hitam. Lalu jari lainnya juga ikutan memerah dan jadi hitam.”
Setelah dirujuk ke RS dr Sarjito, Sandi divonis kekurangan albumin akut. Kekurangan protein menyumbat aliran darah ke kakinya yang mulai mati rasa sehingga terpaksa diamputasi.
Sejak saat itu, Sandi menggunakan kursi roda dan sepeda motor modifikasi untuk membantu mobilisasi.
Sandi sempat menunjukkan betapa dia masih gesit naik-turun dari motor modifikasi. Mengendarai motor bebek khusus penyandang disabilitas ini, Sandi hampir tiap hari menyambangi pedagang sego kluban langgannya di Pasar Rejowinangun.
“Seharusnya saya sudah istirahat. Tapi saya nggak mau kesitu, nanti saya pikun. Kita nggak bisa happy ketemua teman. Otaknya pikun. Saya ingin mengelola (barongsai) terus dengan segala kekuatan dan kemampuan saya.”
Kontributor : Angga Haksoro Ardi