Dulu atraksi barongsai hanya dimainkan terbatas oleh para pemuda etnis Tionghoa. Tapi sekarang tidak lagi. Di Magelang dan Yogyakarta, mayoritas anggota club barongsai adalah orang Jawa.
Lamanya masa pelarangan pertunjukan barongsai, bisa jadi salah satu sebab warga Tionghoa kurang tertarik menekuni kesenian warisan nenek moyang mereka.
Penyebab lainnya salah persepsi para guru di sekolah swasta yang melarang anak-anak Tionghoa belajar tarian barongsai.
“Orang Tionghoa rata-rata sekolah di swasta. Guru-guru agama mereka tidak memahami kebudayaan Tionghoa. Salah menafsirkan bahwa main barongsai dianggap memainkan simbol setan,” kata Sandi.
Baca Juga:Imlekan Nonton Wayang Potehi di Klenteng Tri Dharma Hong Tik Hian Surabaya
Padahal kata Sandi tidak ada unsur mistik apalagi penggunaan simbol setan dalam kesenian barongsai. Dia memastikan, tidak satupun pemain barongsai kesurupan saat pertunjukkan. “Ini hanya tarian simbol keberuntungan.”
Mayoritas pemain barongsai sekarang justru orang Jawa beragama Islam. Sebab dalam ajaran Islam tidak ada larangan bermain barongsai.
“Di muslim tidak ada larangan. Kiayi-nya malah minta tolong kami untuk main di khataman Tegalrejo (Pondok Pesantren API Tegalrejo). Itu setiap ada khataman, kami yang bantu disana. Mulai dulu mendiang Gus Muh (KH Ahmad Muhammad Chudlori) sampai sekarang Gus Yusuf Chudlori.”
Menghidupi Barongsai
Sandi mengaku kegiatannya membuat barongsai bukan untuk tujuan komersil. Tidak ada target jumlah produksi barongsai karena pembuatannya hanya berdasarkan permintaan anggota.
Baca Juga:Koleksi Busana Warna Khas Imlek di Uniqlo, Bikin Tahun Baru Terasa Hangat dan Spesial
Anggota cukup mengganti ongkos bahan yang berkisar Rp 5 juta- Rp 10 juta untuk satu set barongsai. Mahalnya biaya membuat barongsai karena banyak bahan sulit didapat.