Kisah Dibalik Diagungkannya Sosok Gus Gur di Kampung Pecinan Semarang, Sang Pembela Minoritas Keturunan Tionghoa

Sosok presiden keempat Republik Indonesia (RI), Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sangat diagungkan oleh masyarakat di Kampung Pecinan, Semarang

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 01 Juli 2023 | 07:19 WIB
Kisah Dibalik Diagungkannya Sosok Gus Gur di Kampung Pecinan Semarang, Sang Pembela Minoritas Keturunan Tionghoa
Sosok presiden keempat Republik Indonesia (RI),  Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sangat diagungkan oleh masyarakat di Kampung Pecinan, Semarang [NU.or.id]

SuaraJawaTengah.id - Sosok presiden keempat Republik Indonesia (RI),  Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sangat diagungkan oleh masyarakat di Kampung Pecinan, Semarang.

Jika kamu bertandang ke Gedung Rasa Dharma yang terletak di Gang Pinggir Nomor 31, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, pasti kamu akan menemui sinci bertuliskan "Abdurrahman Wahid" yang diletakkan di meja altar berdampingan dengan leluhur Tionghoa.

Di tempat beribadatan umat Konghucu tersebut terpajang pula lukisan Gus Dur di sisi kiri meja altar. Bagi orang awam, melihat pemandangan seperti itu jelas akan bertanya-tanya. Mengapa sosok Gus Dur begitu diagungkan oleh masyarakat pecinan?

Bagi masyarakat pecinan, Gus Dur dipandang sebagai sosok yang berperan besar atas kebebasan dalam menjalankan beribadatan maupun budaya Tionghoa di Indonesia.

Baca Juga:Ini Daftar Tempat Salat Idul Adha 1444 H di Kota Semarang pada 28 Juni 2023

Sebelum Gus Dur menerbitkan Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang etnis Tionghoa bebas menganut kepercayaan dan berekpresi merayakan tradisi maupun hari-hari besar. Kalangan Tionghoa di tanah air terpaksa sembunyi-sembunyi saat menjalankan peribadatan maupun marayakan hari raya Imlek.

"Padahal merayakan perayaan Imlek bukan tindakan terlarang. Konghucu juga bukan agama terlarang," ucap Humas Rasa Dharma, Ulin Nuha saat ditemui SuaraJawaTengah.id, Selasa (27/6/2023).

Jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur sangat dekat dengan orang-orang Tionghoa di Jombang. Bahkan Gus Dur tak mengindahkan aturan orde baru yang melarang segala aktivitas orang-orang Tionghoa.

"Semua orang pasti mengkonotasikan daerah Jombang itu identik dengan pesantren dan orang Islam. Istilah lainnya markas Nahdlatul Ulama," ungkap Ulin.

"Tapi yang orang nggak lihat sejak dulu itu toleransinya. Orang-orang Tionghoa disana diberi kebebesan dalam menjalankan semua peribadatan dan kebudayaan. Gus Durlah yang memberi jaminan dan sering membela kalangan minoritas," tambahnya.

Baca Juga:Indahnya Keberagaman di Rasa Dharma Semarang: Berbagi Makanan Tanpa Pandang Agama

Atas jasanya yang cukup konsisten menyuarakan hak-hak kalangan Tionghoa. Pada tahun 2004 silam Gus Dur dianugerai gelar "Bapak Tionghoa" oleh Perkumpulan Sosial Rasa Dharma di Klenteng Tay Kek Sie, Semarang.

"Gus Dur sangat konsisten agar kami (keturunan Tionghoa) tidak dibeda-bedakan. Dulu orang-orang Tionghoa malu mengakui kalau dirinya keturunan China. Sekarang ada pergeseran budaya, masyarakat Indonesia malah bangga kalau punya pacar chindo," kelakar Ulin.

Tercetusnya Sinci Gus Dur

 Sinci Gus Dur di altar meja Gedung Rasa Dharma Pecinan Semarang. Selasa, (27/6) [Suara.com/Ikhsan
Sinci Gus Dur di altar meja Gedung Rasa Dharma Pecinan Semarang. Selasa, (27/6) [Suara.com/Ikhsan]

Tahun 2012, ada seorang cendikiawan Bandung bernama Soegiri Suteja menyampaikan usulan kepada Harjanto Halim agar Gus Dur dibuatkan sebuah penghormatan atas jasa-jasanya kepada kalangan Tionghoa.

"Akhirnya tercetuslah pembuatan sinci. Kami juga sadar, setelah dikukuhkan jadi bapak kami. Gus Dur layak mendapatkan penghormatan lebih dari kami," tuturnya.

Namun proses pembuatan sinci Gus Dur butuh waktu yang cukup panjang. Pihaknya harus berkonsultasi dan meminta izin kepada istri Gus Dur, Sinta Nuriyah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak