“Kalau para pengundjung djang djuga sedjak dari rumah bermaksud nonton pertundjukan dan masuk dari pintu gerbang Pekan Raya, maka djang paling mudah untuk ditjapainja adalah WO Ngesti Pandowo dan Siswo Budojo,” tulis Hartono.
“Sedang djika orang-orang akan menonton Tjipto Kawedar, mereka terpaksa harus mentjari-tjari dulu dimana letak Tjipto Kawedar itu. Sepintas lalu sukar untuk sampai di Tjipto Kawedar dengan melalui banjak stand-stand. Letak Tjipto Kawedar memang terpodjok.”
Ketoprak Politik
Kegelisahan Hartono cukup beralasan. Ditengah era kejayaan kesenian rakyat masa itu, hawa konflik politik nasional juga sedang gerah-gerahnya.
Baca Juga:Benarkah Makanan Olahan Bisa Pengaruhi Menstruasi? Ini Penjelasan Dokter
Benturan kepentingan partai dan golongan, menyeret kelompok kesenian ke tengah pusaran konflik politik. Kesenian dijadikan alat propaganda, sekaligus menarik simpati rakyat.
Banyak grup wayang orang atau ketoprak yang lahir pada masa itu, hasil bentukan instansi militer macam Kodim. Sebagian lainnya, dibentuk atas inisiasi Lekra, wadah seniman underbow PKI.
Tidak hanya PKI. Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (peserta Pemilu 1955), serta Partai Indonesia (Partindo) juga berebut merekrut seniman ketoprak menjadi anggota.
Mereka diajak bergabung dalam wadah lembaga kesenian yang berafiliasi dengan partai-partai itu.
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang berafiliasi ke PNI, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang menginduk ke NU, serta Lembaga Seni Budaya Indonesia dibawah Partindo.
Baca Juga:Genjot Sport Tourism di Jateng, Pj Gubernur Jateng Launching Specta 2024
Mayoritas seniman bergabung dalam lembaga kesenian atas keinginan pribadi. Jarang sekali yang masuk mewakili kelompok wayang orang atau ketopraknya.