Pengamat: Keputusan MK Tak akan Mengubah Peta Politik di Pilkada Jateng

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang undang-undang Pilkada membuat polemik banyak pihak. Akankah peta politik di Jawa Tengah akan berubah?

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 23 Agustus 2024 | 08:11 WIB
Pengamat: Keputusan MK Tak akan Mengubah Peta Politik di Pilkada Jateng
Ilustrasi pilkada. [Ist]

SuaraJawaTengah.id - Putusan Mahkamah Konstitusi tentang undang-undang Pilkada membuat polemik banyak pihak.  Akankah peta politik di Jawa Tengah akan berubah?

Pengamat Politik Universitas Diponegoro (Undip), Fitriyah menyebutkan, keputusan MK tentu saja memberikan peluang bagi partai yang memiliki tokoh potensial.

"Kalau saya melihat begini, kalau dari perubahan MK ini memang ada yang tidak berdampak Ketika jauh jauh hari dari partai itu tidak menonjol. Tapi ada juga seperti PKB tidak bisa maju sendiri di Jateng, tapi dia punya tokoh. Ini saya kira bisa menjadi kesempatan dan lebih cair," ujarnya saat dikonfirmasi Suara.com pada Kamis (22/8/2024).

Namun demikian, Fitriyah mengungkapkan PDI Perjuangan walaupun tiket untuk bisa maju sendiri, partai berlambang banteng itu berpeluang melakukan koalisi dengan beberapa partai.

Baca Juga:Isi Putusan MK Soal Aturan Pilkada 2024, Partai yang Tak Punya Kursi di DPRD Bisa Mengusung Calon?

"PDIP bisa mencalonkan sendiri, saya kira tetep akan menggandeng dengan partai lain. Jangan-jangan PKB akan bergabung," ucapnya.

"Ya bisa kita lihat PKB punya peluang," tambahnya.

Fitriyah menyebutkan yang paling terlihat peta politiknya berubah adalah di DKI Jakarta.

"Yang kelihatan berubah peta politik pastinya di DKI, dengan aturan MK ini, karena sudah ada calon yang siap maju. Kalau jateng mungkin akan lebih cair. Hanya saja apakah masih ada Waktu untuk menggabungkan itu," ujarnya.

Keputusan MK

Baca Juga:Ramai-ramai Dukung Ahmad Luthfi-Kaesang Pangarep, KIM Plus Bakal All Out?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024, memberi peluang bagi partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak meraih kursi di lembaga legislatif dapat mengusung pasangan calon pada Pilkada 2024 asalkan memenuhi syarat.

Semula hanya memberi kesempatan partai politik peraih kursi DPRD, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mengusung pasangan calon pada Pilkada 2024 (vide Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015).

Pasal 40 ayat (1) menyebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Namun, persyaratan tersebut telah dianulir majelis hakim Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim MK lantas mengubah Pasal 40 ayat (1) sebagai berikut.

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan:

a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap (DPT) sampai dengan 2.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut;

b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 2.000.000 jiwa s.d. 6.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di provinsi tersebut;

c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 6.000.000 jiwa s.d. 12.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut;

d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di provinsi tersebut.

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT sampai dengan 250.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut;

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 250.000 s.d. 500.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di kabupaten/kota tersebut;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 500.000 s.d. 1.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di kabupaten/kota tersebut;

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 1.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di kabupaten/kota tersebut.

Di samping Pasal 40 ayat (1), majelis hakim MK juga menganulir Pasal 40 ayat (3). Pasal ini menyebutkan bahwa dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.

Terkait dengan ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016, majelis hakim MK menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini