- Tahlilan jadi tradisi doa sekaligus perekat sosial, tapi sering diperdebatkan soal syariat dan bid’ah.
- NU dukung penuh, Muhammadiyah lebih pilih doa pribadi, salafi-wahabi bahkan melarang total.
- Meski dikritik, tahlilan tetap kuat sebagai budaya, meski ada beban ekonomi bagi keluarga berduka.
SuaraJawaTengah.id - Tradisi tahlilan sudah begitu akrab di telinga masyarakat muslim Indonesia, terutama di Jawa. Namun, perdebatan seputar praktik ini tak kunjung padam.
Ada yang menganggapnya ibadah penuh pahala, ada pula yang menyebutnya bid’ah yang harus ditinggalkan. Bahkan, sebagian keluarga yang sedang berduka merasa terbebani karena harus menggelar kenduri agar tidak dicap pelit oleh tetangga.
Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah dan makna di balik tahlilan? Sebagaimana dikutip dari YouTube Class History, berikut tujuh fakta penting yang jarang dibahas.
1. Fungsi Sosial Tahlilan: Lebih dari Sekadar Doa
Baca Juga:7 Strategi Brigjen TNI Surjo Sumpeno Menumpas Antek PKI di Jawa Tengah
Dilihat dari sisi sosial, tahlilan memiliki banyak manfaat. Acara ini mempererat silaturahmi karena keluarga dan tetangga berkumpul, saling mendoakan, serta menjalin kedekatan emosional.
Ia juga menjadi sarana gotong royong, sebab warga biasanya turut membantu memasak atau bahkan ikut patungan biaya demi meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.
Dari sisi ibadah, tahlilan bisa dimaknai sebagai bentuk sedekah, karena keluarga almarhum memberi makan para tamu yang hadir. Tidak kalah penting, tahlilan menghadirkan dukungan psikologis.
Kehadiran orang-orang terdekat membuat keluarga yang berduka tidak merasa sendirian dalam menghadapi kehilangan.
2. Kritik dari Perspektif Syariat
Baca Juga:5 Prompt Foto Pernikahan Adat Jawa di Gemini AI, Estetik dan Romantis!
Meski membawa manfaat sosial, tahlilan sering mendapat kritik tajam dari sudut pandang syariat. Sebagian ulama mendasarkan penolakan mereka pada hadis Nabi yang berbunyi “kullu bid’atin dhalaalah”—setiap bid’ah adalah sesat.
Ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Maidah ayat 3 juga menegaskan bahwa Islam telah sempurna, sehingga tidak membutuhkan tambahan ritual baru.
Selain itu, surat Yunus ayat 8 melarang penggunaan perantara dalam ibadah, sementara doa berjamaah dalam format tahlilan dikhawatirkan bisa jatuh ke arah itu.
Bagi mereka yang menolak, doa untuk mayit memang jelas ada dalilnya, namun bentuknya adalah doa pribadi, bukan ritual berjamaah dengan hitungan hari tertentu.
3. Perbedaan Sikap Ormas Islam di Indonesia
Kontroversi tahlilan semakin nyata ketika melihat sikap ormas-ormas besar di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) mendukung penuh praktik ini, menganggapnya sebagai doa bersama yang berpahala bagi almarhum.
Sebaliknya, Muhammadiyah menolak bentuk ritualnya, meski tetap memperbolehkan doa pribadi secara langsung.
Sementara itu, kelompok salafi dan wahabi mengambil sikap yang jauh lebih keras, bahkan sampai pada pelarangan total. Karena perbedaan inilah, tahlilan seringkali menjadi simbol identitas kelompok. Di beberapa desa, orang bahkan berkata, “kalau tidak ikut tahlilan berarti bukan NU.”
4. Identitas Budaya yang Kuat
Terlepas dari perbedaan pendapat, tahlilan telah menjadi bagian penting dari budaya masyarakat Indonesia.
Di pedesaan, tradisi ini masih begitu kuat dan dijalankan secara kolektif sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum sekaligus perekat sosial. Namun, tren berbeda terlihat di kalangan anak muda perkotaan.
Banyak dari mereka mulai meninggalkan tahlilan dan menggantinya dengan doa pribadi yang singkat, sesuai dengan pandangan yang lebih praktis dan modern. Perubahan ini menunjukkan bagaimana tahlilan berada di antara persimpangan tradisi lama dan kebutuhan generasi baru.
5. Filosofi Tahlilan: Antara Ibadah dan Budaya
Jika direnungkan lebih dalam, tahlilan sejatinya adalah campuran antara ibadah dan budaya. Bagian doa serta dzikir jelas termasuk ibadah, sementara penentuan hari ke-3, ke-7, ke-40, hingga ke-1000 lebih merupakan produk budaya.
Islam sendiri tidak anti terhadap budaya, selama tidak bertentangan dengan syariat. Para Wali Songo adalah contoh nyata. Mereka tidak serta-merta menghapus tradisi lametan Jawa, melainkan mengubah isi dan arahannya menjadi doa serta dzikir. Dari sanalah tahlilan lahir, berkembang, dan bertahan hingga sekarang.
6. Beban Ekonomi Keluarga yang Berduka
Di balik semua itu, ada sisi lain yang jarang dibicarakan: beban ekonomi. Tidak sedikit keluarga yang merasa tertekan karena harus menggelar tahlilan besar-besaran, apalagi jika kondisi finansial mereka terbatas.
Mereka khawatir akan dicap pelit atau dianggap tidak menghormati tradisi jika tidak melaksanakan kenduri sebagaimana biasanya.
Padahal, dalam kondisi berduka, yang paling dibutuhkan keluarga adalah ketenangan dan dukungan, bukan tambahan tekanan biaya. Hal ini sering menjadi dilema tersendiri bagi mereka yang berada di posisi sulit.
7. Tahlilan: Ibadah, Bid’ah, atau Perekat Sosial?
Pada akhirnya, tahlilan bisa dimaknai dengan beragam cara. Ada yang melihatnya sebagai ibadah karena berisi doa dan dzikir. Ada pula yang menilainya bid’ah, sebab tidak ada contoh langsung dari Rasulullah ﷺ.
Sebagian lagi memandangnya sebagai perekat sosial yang memperkuat solidaritas masyarakat, sementara yang lain menganggapnya sebagai beban ekonomi dan sosial. Apapun pandangan yang dipilih, yang terpenting adalah ikhlas dalam berdoa sesuai tuntunan Nabi.
Sebab doa yang tulus, baik dilantunkan secara pribadi maupun bersama, tetap akan sampai kepada yang dituju.
Sejarah tahlilan mencerminkan pertemuan antara syariat, budaya, dan identitas sosial umat Islam di Indonesia. Perbedaan pendapat pasti akan selalu ada, namun nilai yang seharusnya dijaga adalah keikhlasan hati.
Karena pada akhirnya, bukan bentuk ritual yang terpenting, melainkan doa yang benar-benar tulus dari lubuk hati terdalam.
Kontributor : Dinar Oktarini