SuaraJawaTengah.id - Mahmudi Haryono alias Yusuf, dia adalah eks napi teroris jaringan Abu Tholut yang pernah mendapatkan didikan dan pelatihan di Filipina.
Jauh sebelum bergabung dengan Abu Tholut, perjalanan jihad Yusuf berawal dari Jombang, kota kelahirannya.
Sekitar tahun 1998 hingga 1999 Yusuf pindah tempat untuk belajar ke Lamongan. Di tempat tersebut, ia bertemu dengan keluarga besar Amrozi.
Selama dua tahun, Yusuf belajar bersama keluarga Amrozi. Dalam satu minggu terdapat tiga kali pertemuan untuk belajar. Di tempat tersebut ia mulai didoktrin dengan ajaran keras.
"Di tempat belajar itu, saya diajarkan soal jihad melalui VCD yang berisi soal laskar jihad dan konflik di Ambon," jelasnya di Semarang, Selasa (20/10/2020).
Selama dua tahun, Yusuf masih dalam proses pengkaderan, hingga pada suatu hari, tepatnya pada tahun 2000, Yusuf mendapat tugas untuk berangkat jihad ke Poso.
Karena merasa senang, Yusuf rela menjual sepeda motornya seharga Rp7 juta untuk bekal perjalanan menuju Poso. Menuju daerah konflik untuk ikut perang adalah cita-citanya.
"Sebenarnya saat itu tiket, makan, dan segala keperluan sebenarnya sudah ditanggung,"ungkapnya.
Di tengah perjalanan rencana berubah. Yusuf bukan dibawa ke Poso melainkan ke Filipina. Saat itu, Yusuf dan teman-temanya transit di Palu menuju Nunukan dan Malaysia.
Baca Juga: Pandemi Covid-19, Festival Lima Gunung Tetap Digelar
"Dari Malaysia, kami menempuh jalur darat menuju Filipina," ujarnya.
Yusuf dan rombongannya dibawa ke sebuah daerah pegunungan. Rombongan Yusuf saat itu dipecah menjadi dua kelompok untuk dibawa ke dua gunung yang berbeda.
"Rombongan kita akhirnya dibagi menjadi dua kelompok karena ada dua gunung yang harus ditempati," ujarnya.
Di Filipina, Yusuf ikut memborbadir perkampungan di daerah target. Saat itu, ia mulai memegang M16 hingga roket.
Selain melakukan kontak langsung, ia mempunyai tugas khusus untuk memetakan daerah-daerah target dan lalu lintas pejuang jihad saat berperang.
"Saat itu saya yang memetakan. Jadi tempat target dan memasang perangkap itu saya. Seringkali saya harus menjinakan bom tanpa pengaman karena perubahan rencana. Sehingga terpaksa melalui daerah yang sudah dipasang ranjau," katanya.
Hingga akhirnya pada Mei 2002 Yusuf mendapatkan perintah untuk kembali ke Indoneia. Tak mudah baginya pulang ke Indonesia. Ia harus menyamar sebagai TKI agar identtitasnya tak diketahui.
"Saya kembali ke Jombang. Kepulangan saya membuat keluarga saya kaget. Mereka mengira saya sudah meninggal," terangnya.
Setibanya di Indonesia ia tak mendapat perintah untuk membuat konflik atau bom di Indonesia. Ia hanya diberi pesan untuk menghubungi Abu Tholut di Kudus jika membutuhkan pekerjaan.
"Selang beberapa lama, saya memutuskan menghubungi Abu Tholut karena mulai gusar setelah lama di rumah," imbuhnya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk bertemu dengan Abu Tholut. Setelah bertemu, Yusuf diberi uang sebanyak Rp20 juta secara cuma-cuma.
Akhirnya, ia langsung manfaatkan uang tersebut untuk bisnis dan sewa kontrakan di daerah Lamper dan Pedurungan Kota Semarang.
"Saat itu saya jualan sandal, sepatu, dompet dan protector berbahan dasar kulit," imbuhnya.
Hingga satu tahun berikutnya pada bulan April 2003, Yusuf tiba-tiba menerima kiriman dari Abu Tholut di kontrakannya.
"Saat itu saya tak berani bertanya. Satu mobil penuh isinya peluru dalam koper-koper. Ada juga buku-buku bom dan dokumen lain, termasuk kartu nama Spanyol,"ungkapnya.
Jika ia hitung, barang-barang tersebut datang sebanyak tiga kali. Menurutnya, amunisi, senjata dan bahan peledak tersebut merupakan barang sisa dari Bom Bali.
"Saya mengira barang tersebut merupakan sisa dari Bom Bali," ucapnya.
Pada tahun yang sama, Yusuf terpaksa kembali ke jeruji besi lantaran ketahuan mempunyai barang berbahaya di kontrakannya. Yusuf ditangkap karena imbas tertangkapnya Abu Tholut di Jakarta.
"Saat itu saya ditangkap karena menyimpan bom rakitan, 750 kilogram bahan peledak, 88 TNT serta 20 ribu peluru," ungkapnya.
Singkat cerita, bulan Januari 2009 ia dinyatakan bebas dari hukuman. Setelah bebas masih banyak godaan untuk kembali ke jalan yang pernah ia tempuh sebelumnya.
Namun saat itu, ia sudah bertekad untuk menempuh jalur jihad yang baik dengan cara membahagiakan keluarga dan bermanfaat untuk orang lain.
"Pada 1 Januari 2009 saya menempuh hidup baru. Saya memutuskan untuk menikah," terangnya.
Perjalanannya tak habis disitu saja, Yusuf mencoba mencari kerja yang berhubungan dengan makanan. Kebetulan, ia sudah terlatih membuat makanan.
"Akhirnya saya diterima sebagai karyawan warung makan di Semarang. Saya senang apalagi saat masakannya dipuji enak," terangnya.
Namun nahas, pekerjaan tersebut tak berjalan lama. Tiba-tiba ia dipecat oleh juragan warung makan tempat ia bekerja. Alasannya, karena Yusuf pernah menjadi napi terorisme.
Setelahhnya, Yusuf memilih untuk membuka warung makan sendiri yang bernama Dapoer Bistik. Dengan berjualan makanan ia bisa menyambung hidup keluarganya.
"Selain itu, saya juga buka bisnis catering. Saya pernah mengirim makanan ke kantor polisi. Beberapa polisi sempat pesan catering saya," ucap pria tiga anak itu.
Seiring berkembangnya waktu, Dapoer Bistik sempat membuka cabang di Solo. Beberapa teman sesama manta napi teroris sengaja ia ajak agar mempunyai penghasilan yang baik.
"Namun, karena keterbatasan biaya dua warung makan tersebut terpaksa tutup untuk sementara. Biaya sewanya tambah naik setiap tahunnya," keluhnya.
Setelah gagal berbisnis makanan, Yusuf tak menyerah. Ia membuat rental mobil yang berjalan beberap bulan. Namun, lagi-lagi usahanya tak berumur panjang.
Meski beberapa kali sudah jatuh bangun dalam berbisnis, ia tak patah arang. Ia masih mempunyai mimpi untuk membuat bisnis makanan.
"Kedepan saya akan membuat bisnis makan lagi," harapnya.
Untuk mengisi waktu luang, saat ini Yusuf juga menjadi ketua Yayasan Persaudaraan Anak Negeri (Persadani). Yayasan tersebut mendampingi warga di sekitar tempat tinggal napi tindak pidana terorisme atau napiter yang akan bebas.
Organisasi tersebut mempunyai anggota mayoritas mantan napi teroris. Untuk sementara kantor Persadani berada di rumah Yusuf.
"Jadi kita yang menyiapkan agar lingkungan atau sekitar tempat napi terorisme bisa duterima di masyarakat. Hal itu penting agar napi teroris tersebut tak kembali ke kelompoknya," imbuhnya.
Kontributor : Dafi Yusuf
Berita Terkait
-
Tidak Pakai Masker dan Memaki Polisi, Pemuda Ini Sebut Corona Buatan China
-
Pandemi Covid-19, Denda Pajak Kendaraan Bermotor di Jateng Dibebaskan
-
Ujicoba Pembelajaran Tatap Muka di Purwokerto, Siswa: Grogi Banget
-
Susi Menangis, Suaminya Menangkap Maling Sepeda Malah Dipenjara
-
Bertani di Semak Belukar, Kelompok Pemuda ini Bagikan Sayur Gratis
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota