Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 10 Juni 2022 | 18:04 WIB
Kusir andong menunggu wisatawan di pintu masuk sisi utara Candi Borobudur. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

"Kalau lagi rame (dulu) bisa lebih dari 5 kali narik. Bisa 7 sampai 10. Kalau sekarang? Yang di luar (kompleks candi) mau narik 2 kali saja sudah berat. Narik 3 kali saja sudah bagus banget," ujar Parsudin.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (tengah) saat menjajaki kendaraan listrik yang disediakan Grab Indonesia di kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Selasa (17/5/2022) [ANTARA/HO-Kemenparekraf].

Tertindas dengan moda transportasi dengan teknologi terbaru

Pengelola andong wisata Borobudur, Puput Setyoko mempertanyakan pilihan menggunakan moda transportasi modern seperti bus dan motor listrik untuk transportasi wisatawan.

Padahal sudah ada moda transportasi yang dikelola warga yang jelas kontribusinya untuk desa di sekitar Candi Borobudur.

Baca Juga: Luhut Tunda Kenaikan Tarif Tiket Candi Borobudur, Ganjar: Itu Bijaksana

"Kenapa malah menggandeng Grab (motor listrik)? Padahal ada andong yang belum punya tempat. Kenapa nggak disiapkan tempat," kata Puput.

Jika alasan menggunakan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi karbon, kuda penarik andong jelas bukan kendaraan berbahan bakar fosil.

Dari segi pelesatarian dan kemanfaatan moda transportasi, andong lebih menonjolkan kesan tradisional dan memberikan keuntungan ekonomi bagi warga Borobudur.  

Ilustrasi Sejarah Candi Borobudur (Freepik)

Lalu, seberapa besar Candi Borobudur sebagai kawasan wisata super prioritas, memberikan manfaat bagi warga sekitarnya?

Puput menggambarkan jika arus wisatawan ke Borobudur diibaratkan sebagai aliran air yang besar, warga Borobudur hanya mendapatkan tetesan.

Baca Juga: Perlu Dialog Pelaku Wisata Soal Tarif Masuk Candi Borobudur

"Kita nggak bilang warga nggak dapat apa-apa. Cuma bedanya efeknya mungkin cuma 10 sampai 30 persen untuk warga. Jadi belum maksimal buat kita."

Load More