Achmad Jaelani, Pahlawan Kusuma Bangsa Penjaga Rahasia Tentara Gerilya

Achmad Jaelani yang merupakan Kepala Desa Karangwangkal pertama sejak Indonesia merdeka di bawah kepemimpinan presiden Soekarno-Hatta menjadi yang paling bertanggung jawab

Budi Arista Romadhoni
Selasa, 10 November 2020 | 07:00 WIB
Achmad Jaelani, Pahlawan Kusuma Bangsa Penjaga Rahasia Tentara Gerilya
Papan plang bertuliskan Jalan Jaelani di Kelurahan Karangwangkal, Kecamatan Purwokerto Utara, Senin (9/11/2020). (Suara.com/Anang Firmansyah)

SuaraJawaTengah.id - 6 Januari 1984 sekira pukul 10.00 WIB menjadi pagi mencekam tak terlupakan bagi rakyat Desa Karangwangkal, yang saat itu masih masuk daerah administratif (asisten) Kecamatan Kebumen. Pasalnya kepala desa setempat, Amiredja alias Achmad Jaelani bersama ketiga perangkatnya meregang nyawa tertembus peluru senapan jenis Lee-Enfield (LE) oleh sekelompok serdadu Belanda dalam Agresi Militer Belanda II.

Pemerhati Sejarah dan Kebudayaan, Bambang Wadoro (61) yang juga merupakan warga setempat mengisahkan berdasar catatan lengkap yang ia dapat dari kesaksian warga saat itu.

"Warga yang saya mintai informasi tersebut sudah meninggal. Tapi yang jelas warga sini telah mengakui Achmad Jaelani sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa berkat pengorbanannya," kata Bambang Wadoro yang akrab disapa Bador, Sabtu (7/11/2020) malam.

Berdasarkan dokumen yang ia tulis, pada saat itu satu pleton Tentara Belanda yang berjumlah 36 orang masuk ke wilayah Desa Karangwangkal. Mereka mencari keberadaan Mashud dan Sugriwo, Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sedang bersembunyi di wilayah setempat saat sedang bergerilya.

Baca Juga:Dear Guru dan Nakes, KAI Sediakan Tiket Gratis, Begini Cara Dapatnya

Warga dan perangkat desa sebelumnya telah sepakat untuk menyembunyikan informasi keberadaan prajurit TRI tersebut. Namun karena Tentara Belanda telah mencium informasi penting ini, mereka kembali datang dan menanyakan persembunyian tentara Gerilya.

Achmad Jaelani yang merupakan Kepala Desa Karangwangkal pertama sejak Indonesia merdeka di bawah kepemimpinan presiden Soekarno-Hatta menjadi sosok yang paling bertanggung jawab.

Menurut dokumen yang ditulis oleh Bador, saat itu Mashud dan Sugriwo merupakan anak buah Pudjadi Djaring Banda Yuda yang tengah bergerilya di wilayah Purwokerto. Namun karena keberadaannya sangat dicari Belanda mereka berpencar. Mashud, adalah warga asli Desa Karangwangkal kemudian mengajak rekannya Sugriwo untuk bersembunyi.

Keberadaan Mashud dan Sugriwo diketahui keberadaannya setelah adanya anggota Tentara Gabungan yang tertangkap, kemudian diinterogasi untuk mengaku bahwa di Desa Karangwangkal ada TRI. Ia yang terus menerus dipukuli akhirnya memberikan informasi keberadaan Mashud dan Sugriwo.

Achmad Jaelani, yang sebenarnya sejak jauh-jauh hari sudah mengetahui akan kedatangan tentara Belanda, bersikukuh bahwa Mahmud dan Sugriwo tak ada di Karangwangkal. Ia sudah memperhitungkan, kebungkamannya dapat berdampak fatal menyulut kemarahan Belanda sehingga membumi hanguskan Karangwangkal dan membantai warga seperti di beberapa daerah yang pernah ia dengar. Ia yang terus ditekan untuk memberikan informasi, tetap teguh pada pendiriannya menjaga rahasia keberadaan TRI yang sedang bergerilya.

Baca Juga:Gubernur Sumut Pertama Raih Gelar Pahlawan Nasional, Ini Profil SM Amin

"Ia memerintahkan agar warga terutama perempuan dan anak-anak agar mengungsi ketempat lain. Namun ia bersama perangkatnya memutuskan utnuk tetap bertahan di Karangwangkal menghadapi Tentara Belanda," jelas Bador.

Tentara Belanda yang saat itu di bawah komando pasukan Letnan Vanderplas sudah kehilangan kesabarannya, kemudian menyebar mengelilingi desa dengan formasi leter O. Subuh hari, setelah mengelilingi desa, sebagian tentara masuk ke rumah Achmad Jaelani selaku lurah serta ke rumah pamong-pamong desa lain.

Malangnya, di rumah kediaman Carik Karangwangkal, Sanwiredja pada saat itu, Tentara Belanda tidak sengaja menemukan secarik surat di saku kemeja. Surat itu berbunyi pemberitahuan bahwa Desa Karangwangkal akan diperiksa oleh Tentara Belanda. Apesnya, surat tersebut terbaca jelas bersumber dari TRI.

"Kira-kira pukul 10.00 WIB, empat Pamong desa diputuskan untuk diadili dengan cara ditembak mati di jalan desa di hadapan beberapa warga. Jaelani menjadi korban pertama yang ditembak dengan senjata LE sebanyak dua kali. Menyusul kemudian tiga bawahannya," kata Bador.

Atas jasa beliau lah kemudian nama Achmad Jaelani diabadikan menjadi nama jalan kabupaten di wilayah Kelurahan Karangwangkal, Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas.

Warga sampai saat ini pun masih rutin menggelar upacara penghormatan tiap tanggal 17 Agustus di makam Achmad Jaelani di tempat pemakaman umum Kelurahan Karangwangkal. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini