SuaraJawaTengah.id - Salah satu peneliti Vaksin Nusantara yang digagas eks Menteri Keseharan Terawan Agus Putranto menemukan adanya keluhan ringan yang dirasakan 20 relawan setelah diberi vaksin tersebut.
Terkait keluhan subyek vaksinasi pada fase pertama seperti nyeri otot, nyeri sendi, lemas, mual dan demam. Sebanyak 8 orang di antaranya mengalami keluhan lokal setelah di suntik Vaksin Nusantara.
Diantaranya berupa nyeri lokal, kemerahan, pembengkakan, penebalan, serta gatal pada titik suntik vaksin nusantara. Namun semuanya bisa sembuh tanpa obat.
"Ada keluhan ringan, keluhan ini dapat membaik tanpa pemberian obat," jelas Salah satu peneliti, Dr Yetty Movieta Nency SPAK kepada awak media, (19/2/2021).
Baca Juga:Hanya Rp200 Ribu, Vaksin Nusantara yang Digagas Terawan Diklaim Lebih Murah
Setelah melalui uji klinis fase I, Vaksin Nusantara akan menjalani uji klinis fase II. Pada fase II akan melibatkan sebanyak 180 orang untuk uji klinis vaksin yang digagas Terawwan itu.
"Proses awal Vaksin Nusantara mulai sejak Oktobber 2020. Sudah melewati uji klinis fase I," imbuhnya.
Meski baru lulus uji klinis fase I, Yetty menjelaskan jika harganya Vaksin Nusantara dapat hampir sama dengan vaksin lain, berkisar USD 10 per vaksin atau di bawah Rp200 ribu.
"Murah, sekitar 10 USD, sekitar di bawah Rp 200 ribu, setara vaksin lain," ucapnya.
Adapun beberapa perbedaan dibanding dengan vaksin Covid-19 yang lain adalah, tidak adanya komponen virus yang disuntikkan.
Baca Juga:Vaksin Nusantara Besutan Terawan Jalani Uji Klinis Tahap 2, Dibiayai Siapa?
"Peptida rekombinan virus diproses oleh sel dendritik pasien secara ex vivo (diluar tubuh), sehingga tidak ada kekhawatiran terkait keamanan," ujarnya.
Selain itu, produksi dosis individual secara sistem tertutup menggunakan reagen tanpa antibiotik dan tanpa komponen binatang.
"Komposisi autolog. Hanya sel dan serum milik pasien sendiri yang disuntikkan," imbuhnya.
Bahkan, Vaksin Nusantara direkomendasikan untuk kondisi medis dimana vaksin lain tidak direkomendasikan seperti penyakit autoimun, terapi imunosupresi.
Rencananya, vaksin tersebut akan ibuat di tempat pelayanan. Kit dikirimkan ke tempat pelayanan, dimana vaksin dibuat secara lokal.
Hal ini memungkinkan dibuat dimana saja, sehingga menghilangkan kebutuhan fasilitas produksi yang masif, mahal, terpusat dan pengiriman vaksin.
"Set up yang dibutuhkan minimal. Setiap RS, Klinik, atau lab klinik komersial dapat membuat vaksin," katanya.
Vaksin Nusantara yang digagas oleh eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto diklaim dapat memproduksi 10 juta dosis vaksin untuk Covid-19 setiap bulannya.
"Kalau kata Pak Terawan kemarin produuksinya bisa mencapai 10 juta dosis setiap bulannya," jelasnya.
Dia menjelaskan jika vaksin Covid-19 yang diproduksi di RSUP Kariadi itu menggunakn bahan serum darah dan antigen yang diambil dari setiap penerimma vaksin.
"Jadi vaksin tersebut diambil dari bahan serum darah dan antigen yang diambil dari penerima vaksin," ujarnya.
Vaksin Nusantara disebut lebih aman karena bahan serum darah diambil dari tubuh pasien sendiri. Dengan begitu vaksin tersebut tak akan ada campuran bahan-bahan dari luar.
"Lebih aman karena darah kita sendiri yang diambil jadi vaksin. Tak ada bahan tambahan dari binatang juga, jadi lebih amann dan halal," imbuhnya.
Selain itu, Vaksi Nusantara bisa menjadi pelengkap dari vaksin-vaksin sebelumnya yang tak dapat digunakan orang yang menderita penyakit seperti kanker dan diabetes.
"Vaksin ini bisa dijadikan alternatif buat yang tak dapat vaksin kemarin. Pasien yang mempunyai penyakit kanker, diabetess bisa divaksiin melalui vaksin ini," ujarnya.
Vaksin tersebut menggunakan teknologi sel Dendritik di mana satu vaksin dibuat hanya diperuntukkan untuk satu orang sehingga disebut aman bagi orang yang memiliki komorbid.
Meski konsep vaksinasi general diubah menjadi personal, bisa dipastikan produksi massal tetap bisa dilakukan walau sifatnya individual.
Seperti diketahui, Vaksin Nusantara yang digagas oleh Terawan itu bekerjasama dengan PT. Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, Universitas Diponegoro (Undip), dan RSUP Kariadi Semarang.
Kontributor : Dafi Yusuf