SuaraJawaTengah.id - Seni kaligrafi lumrahnya dibuat melalui goresan kuas melalui media kertas. Namun uniknya, kaligrafi buatan Ahmad Muntasir terbuat dari limbah bambu dan kayu.
Warga Desa Puluhan Tengah, Kecamatan Jakenan, Pati ini mulai tertarik menggunakan media limbah untuk membuat kaligrafi. Lantaran di sekitar rumahnya banyak tumbuh tanaman bambu.
Biasanya saat orang menebang bambu, bagian pucuk dan ranting (carang-Jawa) tidak terpakai. Melihat hal itu, pria berusia 31 ini mencoba memanfaatkannya menjadi kerajinan kaligrafi.
Sejumlah eksperimen pun dilakukan dari membuat mainan, hingga mengkreasikannya menjadi hiasan dari benda-benda daur ulang lainnya.
Baca Juga:Kampung Mural Kaligrafi di Bandung
Hanya saja sejak 3 tahun lalu, ia menjajal untuk membuat kaligrafi dari limbah tersebut. Hal ini cukup mudah baginya, mengingat semasa di Madrasah dulu Muntasir pernah mengikuti ekstrakulikuler kaligrafi yang memang disenanginya.
Setelah buah karyanya itu kelar, ia pun iseng untuk mempostingnya di salah satu grup platform media sosial (Medsos).
Tak disangka, unggahannya tersebut mendapatkan respon hangat dari warga net. Bahkan tak sedikit dari mereka yang tertarik untuk kemudian memahari kreasi kaligrafi kreasinya.
“Awalnya iseng posting di grup Facebook, kok banyak yang suka. Pucuk bambu ini kan limbah, mentok dipakai buat kayu bakar,” ujar ayah satu anak itu, Senin (26/4/2021).
Kebanyakan kaligrafi yang dibuat warga Dukuh Nelu RT 04/RW 02 ini, berupa lafaz Allah, Muhammad, Assalamualaikum, Kalimat Tauhid, dan Surat Pendek.
Baca Juga:Masjid Baiturrohim Gambiran Tertua di Kabupaten Pati, Ini Kisahnya
Sementara untuk kaligrafi pesanan khusus, di antaranya berupa nama bayi, calon pengantin, dan sebagainya.
“Paling banyak by order, saya enggak stok. Kalau ada pesanan baru saya buatkan,” jelasnya.
Untuk harganya bervariasi, Muntasir membandrol mulai harga Rp50.000 untuk kaligrafi ukuran kecil, hingga ratusan ribu rupiah untuk ukuran besar.
Itupun tergantung tingkat kesulitan dan kerumitan dari si pemesan. Selain itu, Muntasir hanya menerima pesanan, karena hanya sebagai usaha sampingan.
Mengingat dalam kesehariannya, Muntasir bekerja di salah satu toko onderdil di Kecamatan Juwana.
“Paling selesai kerja dari toko, baru tak buat. Untuk satu karya seni kaligrafi paling tidak membutuhkan waktu dua hari, itu kaligrafi yang paling simpel ya,” imbuhnya.
Pada hari biasa dalam satu bulan, setidaknya Muntasir mampu memproduksi sebanyak 10-15 kaligrafi.
Sedangkan khusus pada bulan suci Ramadan seperti sekarang ini, permintaan cenderung meningkat hingga dua kali lipat.
“Puasa ini meningkat hingga dua kali lipat, sekitar 30-an ada,” jelasnya.
Untuk mendapatkan limbah bambu, Muntasir biasanya mencari di kebun bambu yang berjarak 200 meter dari rumahnya.
Sedangkan untuk limbah kayu yang digunakan sebagi background, ia dapatkan dari potongan kayu bakar.
Proses pembuatan kaligrafi limbah bambu ini, terbilang cukup sederhana. Awalnya bambu dipotong menggunakan gergaji sesuai ukuran.
Selanjutnya potongan-potongan bambu diamplas, lalu dirangkai sedemikian rupa di media kayu, dan direkatkan dengan lem kayu.
Sesudah itu, diangin-anginkan sehingga lem merekat kuat.
Tidak berhenti di situ, produk setengah jadi tersebut, selanjutnya di semprot (Clear) agar mengkilat dan dihias sedemikian rupa.
“Saya tidak mengecat karena akan menghilangkan sifat orisinil bambu. Di sini saya menggunakan bambu apus karena kekuatannya,” beber Muntasir.
Kontributor : Fadil AM