Pernyataan Luhut Bikin Heboh, CISSReC Lacak Big Data 110 Juta Warganet Pendukung Penundaan Pemilu: Jelas Tidak Mungkin

Luhut mengklaim punya big data soal ratusan juta orang di media sosial yang setuju terkait wacana penundaan pemilu 2024

Budi Arista Romadhoni
Selasa, 12 April 2022 | 08:59 WIB
Pernyataan Luhut Bikin Heboh, CISSReC Lacak Big Data 110 Juta Warganet Pendukung Penundaan Pemilu: Jelas Tidak Mungkin
Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim punya big data soal ratusan juta orang di media sosial yang setuju terkait wacana penundaan pemilu 2024(Instagram/@luhut.pandjaitan)

SuaraJawaTengah.id - Wacana penundaan Pemilu 2024 tengah menjadi bola liar di kalangan elite politik Tanah Air. Mulai dari ketua parpol hingga menteri awalnya ramai-ramai menyuarakan penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Satu lagi yang bikin heboh adalah pernyataan Menko Kemaritiman Dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim punya big data soal ratusan juta orang di media sosial yang setuju terkait wacana penundaan pemilu 2024.

Bahkan ratusan juta orang itu menginginkan masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang. Sontak pernyataan sang menteri yang banyak memiliki jabatan di pemerintah Jokowi ini memantik perhatian publik.

Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC menemukan kejanggalan ketika melacak big data yang memuat 110 juta warganet pendukung penundaan Pemilu 2024 dengan menggunakan open source intelligence (OSINT) akun media sosial Twitter.

Baca Juga:Jawab Tuntutan Mahasiswa Soal Tunda Pemilu dan Presiden Tiga Periode, DPR Sebut Cuma Ramai di Media Saja

"Jadi, data dukungan melalui media sosial ini jelas tidak mungkin sekali, karena pemakai aktif Twitter sekitar 15 juta," kata Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Dr. Pratama Persadha dikutip dari ANTARA, di Semarang, Selasa (12/4/2022).

Lagi pula, kata Pratama, yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan tiga periode di kisaran 117.746 (tweet, reply, dan retweet), sementara pemberitaan daring (online) tercatat 11.868 pengguna pada periode analisis mulai 15 Februari hingga 15 Maret 2022.

Pratama yang juga dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini menyebutkan data yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,60 persen dan pro 16,40 persen. Sementara itu, pada media daring dengan kontra sebesar 76,90 persen dan pro 23,10 persen.

Dari data ini saja, menurut dia, sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu. Data tersebut diambil dan dianalisis saat setelah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan dengan sejumlah tokoh dan organisasi yang pro dan kontra.

Disebutkan pula bahwa tokoh kontra penundaan pemilu yang paling banyak terdapat pada artikel berita, yaitu Agus Harimurti (Ketua Umum DPP Partai Demokrat) sebanyak 1.420, disusul Surya Paloh (Ketua Umum Partai NasDem) sebanyak 555.

Baca Juga:Ade Armando Babak Belur Dipukuli Massa di DPR, Guntur Romli: Penyusup Preman-Preman Intoleran dan Radikal!

Sementara itu, tokoh pro penundaan pemilu yang terbanyak adalah Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) sebanyak 3.892 artikel berita, diikuti Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN). Ada juga 10 organisasi yang pro penundaan pemilu, seperti PKB, Golkar, dan Kemenkomarves.

Adapun yang kontra sebanyak 71 organisasi, yaitu PPP, PDI Perjuangan, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Partai Demokrat, Muhammadiyah, dan lainnya.

Menurut Pratama, berbeda bila 110 juta data ini mengambil pembicaraan dari Facebook (FB), Instagram, dan TikTok yang jumlah pemakainya relatif sangat banyak. Pemakai FB di Indonesia lebih dari 130 juta, Instagram sudah hampir menembus 100 juta pemakai, belum lagi TikTok yang pemakainya bertambah dengan cepat di Indonesia.

"Namun, tidak semuanya membicarakan penundaan pemilu, banyak yang tidak peduli. Lebih banyak membicarakan hal yang lain," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang Badan Siber dan Sandi Negara) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.

Pratama menegaskan bahwa sumber pengambilan data itu harus jelas. Bahkan, untuk mengambil data tersebut dengan survei juga hal yang sangat sulit, bahkan mustahil meskipun secara daring. Hal ini karena harus sesuai dengan usia, apalagi mencapai angka 110 juta warganet.

"Mengumpulkan dan membaca data FB, IG, dan WA tidak semudah di Twitter yang membuka API (application programming interface). Perlu persetujuan FB untuk pihak ketiga membaca data dan mengumpulkannya," kata dia.

Ia mencontohkan Cambridge Analytica ketika membaca kecenderungan pilihan warga Inggris menjelang Brexit, dan pilihan warga Amerika Serikat menjelang Pilpres 2016.

Namun, kata pakar keamanan siber ini, pada akhirnya setelah ini bocor menjadi kasus besar, berujung pada makin ketatnya perlindungan data pribadi di Eropa dengan Regulasi Umum Perlindungan Data (General Data Protection Regulation/GDPR).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini