“Orang-orang yang terlibat itu (bekas anggota PKI), istilahnya di-beku. Terbeku. Itu podo mlayu nang langgar. Ibaratnya kalau hujan, mereka ikut ngeyup di situ.”
Kiai Jamil rutin memimpin shalat Jumat di Dusun Tlatar sambil membina warga kampung. Termasuk mereka para eks simpatisan PKI.
“Hadir ke sini setiap Jumat. Dari rumah mungkin pukul 9 jalan kaki. Sampai sini pukul 11 istirahat. Pakai tongkat. Sudah sepuh tapi gigih. Membimbing Jumatan di sini.”
Para eks simpatisan PKI juga ikut membantu membangun mushola. Dari yang semula hanya berdinding gedek, dibangun menjadi tembok. Mereka turut mengangkut batu untuk membangun mushola.
Baca Juga:Cerita 137 Tahanan PKI Mempawah yang Diselimuti Wajah Ketakutan
Setelah mushola selesai dibangun dan situasi politik berangsur normal, ada jamaah eks simpatisan PKI yang tidak lagi ikut kumpulan di mushola. Tapi tidak sedikit juga yang melanjutkan belajar agama kepada Kiai Jamil.
“Ada yang lari meninggalkan ibadah di mushola, tapi ada juga yang berlanjut. Keuntungannya tadinya mushola masih gedek, terus jadi tembok. Itu yang mimpin jamaah ya Mbah Kiai Jamil itu.”
Seorang Indonesianist, Robert Cribb menyebut pertanyaan paling sulit dijawab terkait peristiwa 1965, adalah menentukan seberapa penting inisiatif dan peran tentara dalam mempengaruhi ketegangan lokal.
Jawaban dari pertanyaan itu dapat menentukan apakah kejadian -penangkapan dan pembunuhan- merupakan kekerasan spontan yang bersifat horizontal “tetangga membunuh tetangga”.
Atau merupakan kekerasan birokratik yang vertikal: negara membunuh warganya sendiri.
Baca Juga:Digelar Malam Ini! Bupati Karanganyar Wajibkan Seluruh OPD Nonbar Film G30S/PKI
Apakah peristiwa 1965 merupakan ekses kekerasan chaotis ketika rakyat mengamuk dan melakukan aksi balas dedam terhadap anggota PKI. Atau genosida politik yang terorganisir, atau paduan keduanya.