Namun, kata Devie, para penyelenggara acara tidak boleh memanfaatkan situasi ini untuk meraup untung sebanyak-banyaknya dan mengabaikan keamanan serta keselamatan.
Dia menambahkan, hal itu menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara karena berdasarkan psikologi massa: manusia menjadi tidak rasional ketika berada dalam massa, "hanya hanyut dalam perasaan kesenangan, kegembiraan, sehingga tidak bisa berpikir secara jernih".
"Mereka yang harus mempersiapkan skenario-skenario agar kemudian semua orang yang berpartisipasi itu dapat kembali pulang dengan aman," ujar Devie.
Keselamatan lebih utama
Baca Juga:Calon Perawat Ini Tewas dengan Organ Tubuh yang Rusak Parah di Tragedi Itaewon
Ketua Program Studi Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja (K3) Universitas Indonesia, Dr Zulkifli Djunaidi, mengatakan, hal yang terjadi di festival musik Berdendang Bergoyang membuktikan bahwa warga Indonesia "belum melek" isu manajemen keselamatan massa.
"Crowd safety management (manajemen keamanan massa) itu belum dipahami, bukan oleh masyarakat saja, tetapi juga oleh penyelenggara, event organizer, dan juga pemerintah sebagai pihak yang berwenang. Stakeholders-nya belum pada aware (sadar) terhadap ini," kata Zulkifli pada Senin (31/10/2022).
Zulkifli menjelaskan manajemen keamanan massa kerap kali “dikesampingkan” ketika target utamanya adalah keuntungan secara ekonomi, dan hal itu yang terjadi di Indonesia.
Dalam kasus festival musik Berdendang Bergoyang, polisi mendalami dugaan pencetakan tiket yang berlebih.
Ada dua hal yang menurut Zulkifli harus dilakukan pihak penyelenggara sebelum menggelar sebuah acara yang akan dibanjiri massa – entah itu festival musik, pertandingan olahraga, atau kampanye politik— yakni pencegahan dan mitigasi.
Baca Juga:Kembali Gelar Latihan, Persib Bandung Siap Kembali Berkompetisi
Penyelenggara acara harus bisa menentukan “besarnya risiko”, yang dihitung dari jumlah orang yang akan datang, dan “keadaan daruratnya”, misalnya kebakaran, bentrokan, atau bahkan bencana alam.