SuaraJawaTengah.id - Sejatinya pendidikan adalah hak siapa saja. Tak pandang bulu baik keluarga miskin atau kaya berhak mencicipi pendidikan sampai perguruan tinggi, termasuk di UIN Walisongo Semarang.
Biaya pendidikan yang seharusnya bisa mengakomodir seluruh lapisan masyarakat. Justru saat ini tidak ramah di kantong masyarakat perekonomian menengah ke bawah. Biaya pendidikan terutama perguruan tinggi semakin melejit.
Selain Yogyakarta, mungkin Kota Semarang juga bisa dikatakan sebagai Kota Pendidikan. Pasalnya di Kota Lunpia ini terdapat kampus-kampus ternama seperti Universitas Diponegoro (Undip) Universitas Negeri Semarang (Unnes), UIN Walisongo dan lain-lainnya jadi daya tarik pelajar menimba ilmu disana.
Dibanding Undip dan Unnes, biaya pendidikan di UIN Walisongo mungkin jauh lebih ramah dan dikenal dengan sebutan "kampus rakyat". Istilah tersebut mengartikan kampus yang berada disisi barat Kota Semarang jadi opsi terbaik bagi kalangan yang nggak mampu membayar UKT (biaya pendidikan) terlampau mahal.
Baca Juga:Semakin Panas, Isu Plagiasi Rektor UIN Walisongo Bikin Guru Besar Terpecah Dua Kubu
Saya cukup bangga punya kesempatan mengenyam pendidikan di UIN Walisongo di tahun 2017. Sebagai anak kuli bangunan, membayar biaya semesteran sebesar Rp1.676.000 itu tidak terlalu membebani perekonomian keluarga saya.
Sayangnya, rasa bangga saya itu tak bertahan lama. Pada tahun 2018 saya sangat prihatin ketika mendengar ada kenaikkan UKT dan sampai sekarang perguruan tinggi yang dikenal kampus rakyat kini tidak lagi merakyat.
Banyak Camaba Mengundurkan Diri
Berdasarkan data survei yang pernah diluncurkan lpmmissi.com pada tanggal 22 Juli 2023, sebanyak 99 persen calon mahasiswa baru (camaba) tahun 2023 keberatan dengan besaran UKT yang harus mereka bayar.
Camaba yang keberatan membayar UKT rata-rata mereka yang mendapat golongan 5. UKT di golongan 5 sendiri kisaran RpRp. 3.681.000 hingga Rp. 5.891.00.000. Sedangkan pembagian UKT di UIN Walisongo sampai tujuh golongan (Rp5.014.000-7.351.000).
Baca Juga:Geger! Dugaan Plagiasi Rektor UIN Walisongo, Sudah Tercium dari Tahun 2019, Begini Kronologinya
Masih dihasil survei tersebut, sebanyak 10,9 persen atau 21 responden dari 194 yang mengisi survei memilih tidak melanjutkan pendidikan di UIN Walisongo lantaran tidak mampu membayar UKT.
"Saya (masih) ingin kuliah di UIN Walisongo kalau UKT saya turun ke golongan 1 atau 2," ucap Hana dalam survei lpmmissi.com.
Sementara itu, sebanyak 89,2 persen atau 173 camaba memilih tetap melanjutkan kuliah di UIN Walisongo. Walaupun besaran UKT yang mereka terima tidak seleras dengan penghasil orang tua.
Melihat realita tersebut, bolehkan saya mempertanyakan UIN Walisongo yang dikenal sebagai kampus rakyat itu apakah masih jadi ruang pendidikan atau sudah beralih jadi pusat bisnis?
Sering Pinjam untuk Bayar UKT
Sama seperti impian kebanyakaan orang, Abdul sudah memupuk diri dan bertekad untuk melanjutkan studi sampai perguruan tinggi. Pucuk dicinta ulam pun tiba, pada tahun 2021 Abdul dinyatakan lulus masuk ke UIN Walisongo lewat jalur tes UMPTKIN.
Tentu Abdul sangat bahagia bisa diterima di salah satu kampus negeri. Tapi pemuda asal Mijen ini sempat mengeluh ketika mendapati besaran UKTnya terlampau tinggi. Sedangkan pekerjaan ayahnya hanya seorang security.
"Rp3,9 juta sekian untuk bayar UKT sewaktu pandemi Covid-19 itu sangat mahal," ucap Abdul pada Suara.com, Jumat (1/3/24).
Meski demikian, biaya pendidikan cukup memberatkan. Orang tua Abdul tetap mengusahakan anaknya bisa mengenyam perguruan tinggi. Abdul pun saat ini sudah memasuki semester 6.
Semasa perkuliahan, pemuda berambut gondrong ini memang tidak mengalami kesulitan dalam studi. Akan tetapi setiap pembayaran semester, keluarganya sering kesulitan mengumpulkan dana.
Bahkan saat pembayaran semester 5 kemarin. Orang tua Abdul nyaris tidak mampu membayar UKT. Beruntung, orang tua bisa mengumpulkan uang di hari terakhir dengan cara meminjam uang ke orang lain.
"Menurut saya pembagian UKT di UIN Walisongo belum cukup adil. Misalnya ada mahasiswa yang seharusnya dapat golongan 1, malah dapat golongan 5," imbuhnya.
Hal senada juga diungkap oleh mahasiswa magister UIN Walisongo, Muhammad Irfan Habibi. Sewaktu kuliah S1 di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) ia mendapat UKT sebesar Rp4,8 juta.
Dirinya juga pernah mendengar sebutan UIN Walisongo kampus rakyat ketika para mahasiswa sering mendemo persoalan UKT.
"Pernah mengajukkan banding UKT sekali ketika orang tua di PHK sewaktu pandemi Covid-19. Tapi ditolak, prosesnya juga rumit," keluh lelaki yang akrab disapa Habibi tersebut.
Habibi kemudian menyoroti sistem pengkelompokkan besaran UKT. Menurutnya, UIN Walisongo belum transparan terkait ekonomi mahasiswa mana yang layak menerima besaran UKT golongan 1 sampai golongan 7.
Pemuda kelahiran Batam ini membantah anggapan mahasiswa yang lulus masuk UIN lewat jalur SPANPTKIN dapat golongan UKT pertama. Nyatanya Habibi tidak demikian, dia malah membayar UKT nyaris Rp5 juta persemester.
"Soal masuk jalur SPAN atau SNMPTN katanya dapat UKT yang lebih murah rasanya tidak benar. Mungkin karena sistem menilai besaran UKT mahasiswa dari kemampuan ekonomi orang tua yang diunggah," tandasnya.
Kontributor : Ikhsan