Kisah SDN 'Kartini' Sarirejo Semarang: Berusia Satu Abad, Dibangun dari Hasil Penjualan Buku RA Kardinah

Sekolah yang terletak di Jalan RA Kartini, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur ini adalah saksi sejarah kegigihan tokoh emansipasi wanita asal Jepara itu

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 18 April 2024 | 10:03 WIB
Kisah SDN 'Kartini' Sarirejo Semarang: Berusia Satu Abad, Dibangun dari Hasil Penjualan Buku RA Kardinah
Beberapa siswa-siswi SDN Sarirejo Semarang sedang berswa foto di samping patung R.A Kartini. (Suara.com/Ikhsan)

SuaraJawaTengah.id - Lagu 'Ibu Kita Kartini' terdengar lirih saat saya menjejaki lorong kelas SDN 'Kartini' Sarirejo. Sekolah yang terletak di Jalan RA Kartini, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur ini adalah saksi sejarah kegigihan tokoh emansipasi wanita asal Jepara.

Jika diperhatikan secara sekilas, terdapat sebuah perbedaan arsitektur bangunan di area sekolah tersebut. Bangunan yang menghadap ke selatan nampak gedung tua berdinding kayu. Sementara bangunan sekolah lainnya yang berada di sisi barat dan timur nampak lebih modern.

Bangunan sekolah yang menghadap ke Jalan RA Kartini itu adalah cagar budaya. SDN Sarirejo Semarang ini dulunya salah satu sekolah perempuan pertama yang didirikan oleh sebuah yayasan karena terinspirasi dengan pemikiran RA Kartini dalam memperjuangkan keseteraan untuk kaum perempuan.

"Sekitar tahun 1992 gedung sekolah dan ruangan kepala sekolah menghadap ke arah Jalan Dr. Cipto," ucap seorang guru senior SDN Sarirejo, Suwarni saat ditemui Suara.com, Rabu (17/4/24).

Baca Juga:Semarang dan Sekitarnya Berpotensi Diguyur Hujan pada Selasa 16 April 2024, Ini Penjelasan BMKG

Berdasarkan sejarah saat pertama kali dibuka tanggal 11 Januari 1915, sekolah ini terletak di Jalan Karreweg (sekarang Jalan Dr. Cipto). Sekolah Kartini dulu bersebelahan dengan Inlandsche Ambachtschool (sekarang SMKN 2 Semarang).

Dana untuk membangun sekolah ini dulu berasal dari penjualan surat-surat RA Kartini dan buku-buku adik kandung RA Kardinah. Yayasan Abendanon dan Deventer atau Perhimpunan Kartini Hindia Belanda yang jadi motor penggerak terwujudnya sekolah wanita pertama di Kota Semarang.

"Jadi ruang kelas 6 sampai gedung paling ujung aula nggak boleh diubah karena udah jadi cagar budaya," paparnya.

Selain ruang kelas dan aula yang merupakan sisa-sisa peninggalan sejarah yang masih bisa ditemui. SDN Sarirejo juga masih menyimpan buku berbahasa belanda. Buku itu diduga kuat berisikan sejarah panduan kurikulum sekolah SDN Sarirejo di masa kolonial Belanda.

Namun, Suwarni tidak mengetahui secara detail soal transisi bagaimana sekolah wanita ini bisa bertransformasi menjadi sekolah umum. Sekitar tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia, sekolah ini ikut terdampak dan sempat vakum beberapa tahun.

Baca Juga:Mbak Ita Ingatkan ASN Kota Semarang Masuk Kerja Sesuai Jadwal

Disinyalir pasca kemerdekaan Indonesia, pemerintah daerah setempat mengakusisi dan mengubah konsep sekolah. Sampai hari ini sekolah peninggalan kolonial Belanda tersebut terdaftar sebagai 'sekolah negeri'.

"Waktu dulu sekolah ini masih sering dikunjungi orang-orang Belanda. Kalau ada tamu dari sana, kita menyambut mereka dengan gamelan dan penampilan seni dari siswa-siswi," ujarnya.

Karena sekolah SDN Sarirejo ini memiliki sejarah panjang terhadap sosok R.A Kartini. Setiap tanggal 21 April, sekolah ini rutin mengadakan acara untuk mengenang dan mereflesikan sosok tokoh yang sangat berjasa terhadap kaum perempuan.

Masih dijelaskan Suwarni, pihak sekolah saat ini sedang berusaha mengembalikan atau memasukkan sedikit kurikulum yang pernah diajarkan sekolah Kartini dulu.

"Setiap hari Jumat itu kita selalu mengenalkan sejarah riwayat R.A Kartini, visi dan missi beliau, dan tentang sekolah ini secara keseluruhan," terangnya.

Adapun kurikulum sekolah Kartini dulu sepengetahuan Suwarni lebih fokus pada keterampilan seperti menjahit, menyulam, hingga membatik.

Suwarni berharap pemerintah setempat memberikan perhatian lebih untuk memelihara bangunan cagar budaya di sekolahannya. Diakuinya sama pihak kepala sekolah tidak mudah untuk merawat bangunan tua tersebut.

"Bagaimana caranya bangunan ini harus tetap lestari dan nggak bahaya untuk anak-anak. Kita harus terus meneruskan sejarah dan perjuangan R.A Kartini," pungkasnya.

Kontributor : Ikhsan

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak