SuaraJawaTengah.id - Djuli 1965. Tiga kelompok kesenian tradisional berbagi panggung di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Kelompok Wayang Orang Ngesti Pandowo, Ketoprak Siswo Budojo, dan Wayang Orang Tjipto Kawedar, bersaing merebut hati pengunjung pada Pekan Raya Dwi Dasawarsa Kemerdekaan RI.
Tahun-tahun itu masanya nggendero kesenian rakyat. Kelompok wayang orang dan ketoprak tumbuh dan berkembang hingga ke pelosok desa.
Kelompok kesenian tradisional ini punya basis pendukung yang sama-sama besar dan fanatik. Pusat keramaian seperti pasar malam, grebek Suro, maupun pekan raya, menjadi ajang adu gengsi masing-masing kelompok.
Baca Juga:Benarkah Makanan Olahan Bisa Pengaruhi Menstruasi? Ini Penjelasan Dokter
Pendukung fanatik bahkan sanggup lintas wilayah. Tjipto Kawedar yang aslinya grup wayang orang asal Semarang, punya banyak penggemar di Magelang dan Yogyakarta.
Begitu juga kelompok ketoprak Siswo Budojo yang namanya besar di Tulungagung, Jawa Timur, ditunggu-tunggu ribuan penggemar di Jogja kala itu.
Aroma persaingan antar kelompok kesenian itu dicatat tabloid Minggu Pagi edisi 18 Djuli 1965, dalam opini berjudul “Nonton WO Tjipto Kawedar Didalam Pekan Raya”.
Penulisnya, Dan Din Kepolisian Daerah Istimewa Jogjakarta, Hartono, yang agaknya penggemar garis keras Wayang Orang Tjipto Kawedar.
Dia menulis dalam nada gelisah. Dengan gusar Hartono menuding panitia peringatan 20 tahun kemerdekaan Indonesia di Alun-alun Utara Yogyakarta, kurang mendukung grup wayang orang kesayangannya.
Baca Juga:Genjot Sport Tourism di Jateng, Pj Gubernur Jateng Launching Specta 2024
Panggung pentas Tjipto Kawedar ditempatkan terpencil di pojok Barat Daya alun-alun yang jauh dari dua pintu masuk utama di Barat dan di Timur.
“Kalau para pengundjung djang djuga sedjak dari rumah bermaksud nonton pertundjukan dan masuk dari pintu gerbang Pekan Raya, maka djang paling mudah untuk ditjapainja adalah WO Ngesti Pandowo dan Siswo Budojo,” tulis Hartono.
“Sedang djika orang-orang akan menonton Tjipto Kawedar, mereka terpaksa harus mentjari-tjari dulu dimana letak Tjipto Kawedar itu. Sepintas lalu sukar untuk sampai di Tjipto Kawedar dengan melalui banjak stand-stand. Letak Tjipto Kawedar memang terpodjok.”
Ketoprak Politik
Kegelisahan Hartono cukup beralasan. Ditengah era kejayaan kesenian rakyat masa itu, hawa konflik politik nasional juga sedang gerah-gerahnya.
Benturan kepentingan partai dan golongan, menyeret kelompok kesenian ke tengah pusaran konflik politik. Kesenian dijadikan alat propaganda, sekaligus menarik simpati rakyat.
Banyak grup wayang orang atau ketoprak yang lahir pada masa itu, hasil bentukan instansi militer macam Kodim. Sebagian lainnya, dibentuk atas inisiasi Lekra, wadah seniman underbow PKI.
Tidak hanya PKI. Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (peserta Pemilu 1955), serta Partai Indonesia (Partindo) juga berebut merekrut seniman ketoprak menjadi anggota.
Mereka diajak bergabung dalam wadah lembaga kesenian yang berafiliasi dengan partai-partai itu.
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang berafiliasi ke PNI, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang menginduk ke NU, serta Lembaga Seni Budaya Indonesia dibawah Partindo.
Mayoritas seniman bergabung dalam lembaga kesenian atas keinginan pribadi. Jarang sekali yang masuk mewakili kelompok wayang orang atau ketopraknya.
Melalui pendekatan panjang, Lekra akhirnya berhasil merangkul Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi) yang semula berdiri independen.
Hingga pertengahan tahun 1963, Bakoksi mengklaim memayungi 800 kelompok ketoprak yang tersebar antara lain di Temanggung, Pati, Surabaya, Pekalongan, Madiun dan Kediri.
Pada Kongres Ketoprak II di Gedung Kesenian Sriwedari, Solo tahun 1964, Bakoksi menerima konsep kebudayaan yang diusung Lekra.
Lembaga yang semula independen itu kemudian memutuskan berdiri dalam barisan pendukung Manifestasi Politik (Manipol) dibawah komando Presiden Soekarno.
Koran simpatisan Partai Komunis Indonesia, Mingguan Umum Pesat edisi 5 Agustus 1964 mengumumkan keputusan Kongres Ketoprak II di Solo.
Dalam sembilan butir keputusan kongres, Lekra antara lain mendorong Bakoksi menjadi pelopor pembaruan kesenian ketoprak sesuai tuntutan Gerakan Revolusioner Rakyat.
“Kongres membenarkan pendirian jang menjatakan, bahwa untuk mengadakan gerakan pembaruan drama ketoprak pertama-tama harus dilakukan pendidikan dan pembadjaan diri seniman ketoprak, untuk menerima pendidikan teori revolusioner terutama tentang filsafat revolusioner.”
Masih dalam edisi Mingguan Umum Pesat itu, Lekra mengumumkan susunan Sekretariat Pimpinan Pusat Bakoksi. Sudjadi didudukan sebagai Ketua dan Wakilnya, Nyonya Rukinah.
Tak sampai setahun dari Kongres Ketoprak II di Solo, pecah prahara politik September 1965 di Jakarta. PKI dan seluruh sayap politiknya dibasmi.
Para seniman ketoprak yang tergabung dalam Bakoksi, ikut diburu dan ditangkap. Bernasib sama dengan para aktivis Lekra, sebagian besar mereka dipenjara di camp tahanan politik atau dibuang ke Pulau Buru.
Harga mahal yang harus ditanggung para seniman sebagai konsekuensi terlibat dalam politik.
Seni Rakyat Usai Badai
Setelah situasi mereda, seniman ketoprak yang tidak terlibat Bakoksi kembali melanjutkan pertunjukan. Jika sebelumnya pentas ketoprak digelar malam hari, pemerintah Orde Baru hanya mengizinkan pertunjukan pagi dan siang hari.
Kesenian ketoprak kembali hidup. Kelompok-kelompok yang semula “tiarap” mulai memberanikan diri menggelar pentas.
Dibawah pengawasan dan kendali pemerintah Orba, dari tahun 1970-an hingga akhir 1990 kelompok ketoprak dan ludruk eksis di panggung-panggung hiburan rakyat.
Para seniman difasilitasi untuk siaran sandiwara ketoprak di RRI. Nama-nama pemain ketoprak seperti Bondan Nusantara dan Marsidah moncer pada masa itu.
Selain pentas tetap di taman hiburan rakyat di Solo, Yogyakarta, dan Semarang, kelompok ketoprak keliling juga memboyong tobong. Menggelar pertunjukan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.
Alasan paling masuk akal kesenian ketoprak punya banyak penggemar karena tema cerita yang diangkat dekat dengan kisah-kisah rakyat.
Gagrak cerita ketoprak bisa sangat cair dan luwes mengikuti selera penonton. Beda dengan gagrak wayang orang atau wayang kulit yang cenderung kukuh dan pakem.
“Cerita ketoprak (yang pakem) sekarang itu sudah tidak bisa lagi dinikmati penonton. Makanya sekarang ketoprak itu banyak plesetannya,” kata Mbah Timbul, sesepuh kesenian ketoprak di Desa Petung, Kecamatan Pakis, Magelang.
Penggunaan bahasa krama dalam pementasan ketoprak, dibatasi hanya untuk lakon cerita kerajaan atau kadipaten.
Sedangkan untuk cerita rakyat biasa, digunakan bahasa madya atau ngoko, tergantung tokoh yang terlibat dalam dialog ketoprak.
“Ketoprak kok pakem temen. Pakai bahasa kromo ndak cah enom-enom do bingung. Kesakralan seperti itu saya ubah sedikit. Saya pakai kisah desa sedikit atau humor. Rodo pakem sitik terus guyone rodo akeh.”
Usia Mbah Timbul kini menginjak 60 tahun. Dia salah satu –jika tidak boleh dibilang satu-satunya- pemain ketoprak berusia lanjut yang masih aktif melatih dan menyutradarai pementasan ketoprak di Kecamatan Pakis.
Ketika berusia 17 tahun, Timbul dikirim belajar ketoprak kepada Pak Sastro, salah seorang seniman di Dusun Sajen, Desa Trenten, Kecamatan Candimulyo.
“Tiap malam saya belajar ke tempat Pak Sastro. Jalan kaki. Dulu jalannya masih jelek. Sekarang mobil sudah bisa. Jalan kaki meskipun gerimis. Kadang suka diantar bapak,” kata Mbah Timbul.
Timbul muda terutama belajar tata bahasa ketoprak kepada Pak Sastro. Selain memahami jenis-jenis cerita ketoprak, yang kelak akan menjadi bekalnya melakoni seni pertunjukan ini.
Ketoprak Tobong
Puluhan tahun Timbul ikut rombongan tobong ketoprak. Tidak seperti kebanyakan pemain yang bergabung dalam satu kelompok, dia memilih grup secara nomaden.
Kadang diminta main oleh salah satu kelompok ketoprak, semacam pemain tarkam pada pertandingan sepak bola atau voli.
“Pernah sampai Semarang, Boyolali. Di Jogja niku kulo tumut Cangkringan (Sleman). Saya ikut kelompok sak sake. Tobong niku undangan.”
Kelebihan pemain cabutan ketoprak seperti Mbah Timbul, terletak pada kemampuannya beimprovisasi di atas panggung. Dia biasa ikut pentas tanpa sempat latihan bersama, hanya berbekal garis besar cerita yang diarahkan sutradara.
“Pengembangan ceritanya monggo terserah pemain. Mbonten warahi (tidak diarahkan). Istilahnya hanya diberikan garis besarnya. Sutradara mpun ngaten mawon,” ujar Mbah Timbul.
Pengalaman melanglang buana di panggung ketoprak, membawa Mbah Timbul pada banyak pengalaman unik. Dari mulai tidak dibayar, hingga menggelar pentas ketoprak di keluarga yang sedang sripah.
Di Boyolali, kelompok ketoprak Mbah Timbul diundang main di salah satu dusun. Kebetulan tetangga orang yang nanggap ketoprak meninggal dunia.
Malam itu pertunjukkan ketoprak tetap jalan. Hanya tertunda sebentar menunggu jenazah selesai dishalatkan dan dibawa ke makam.
“Jenazah disholatke, dikubur, kita langsung ketoprakan. Itu sudah kesepakatan dengan pihak keluarga.”
Pengalaman Mbah Timbul ngetoprak di Temanggung lain lagi. Kelompoknya terpaksa meladeni berkelahi gerombolan pemuda mabuk yang ngadang di jalan keluar desa.
“Penontonnya mabuk. Ngadang ketoprak. Wiyogo kulo preman kabeh jaman semono. Cah ndalanan kabeh. Cepaki gamelan sing kandel-kandel. Nek diantem gamelan yo tetepan ngglinding to,” ujar Mbah Timbul sambil terkekeh.
Darah Muda Seni Panggung
Kegiatan ngetoprak Mbah Timbul sempat terhenti sekitar 5 tahun lalu akibat penyakit gula. Kegiatannya sehari-hari hanya dihabiskan berdiam diri di rumah.
Nuryanto, putra Mbah Timbul prihatin menyaksikan keseharian bapaknya. Menghabiskan waktu hanya duduk-duduk di muka rumah pasti sangat menyiksa.
Dia tahu hanya ketoprak yang bisa mengembalikan semangat hidup bapaknya. Kesenian itu sudah menjadi nafas hidup Timbul.
“Saya tahu bapak itu kesukaanya cuma ketoprak sama ngingu merpati. Waktu kena penyakit gula kan vakum dari kegiatan apapun. Saya berpikir bagaimana caranya menyenangkan bapak lagi.”
Nuryanto mengumpulkan anak-anak muda Desa Petung. Para penari Sanggar Lumaras Budaya asuhan bapaknya, dia ajak membentuk kelompok ketoprak.
Sanggar Lumaras Budaya dibangun Timbul tahun 1997. Di sanggar ini dia mengajar para pemuda berbagai seni tari seperti Rampak Kurawa, Grasak Kontemporer, dan Warok Bocah.
Rumah yang sekarang ditempati Nuryanto, juga merangkap tempat latihan tari. Pada bagian belakang rumah, terdapat ruang seluas kurang lebih 50 meter persegi.
Malam itu sekitar 20 pemuda-pemudi berkumpul berlatih tari. Kebanyakan warga Desa Petung, lainnya berasal dari luar kampung.
Usia mereka rata-rata belasan tahun. Malam yang dingin. Hujan sedari sore baru saja berhenti. Satu-dua bocah tertidur di antara deretan gamalan.
Kurang dari separo ruang latihan dijejali perangkat gamelan dan kendang. Ada sedikit ruang di lantai atas, dipakai untuk tempat menyimpan kostum tari dan ketoprak.
“Satu set kostum ketoprak gedhog-nya pemberian Abah Kirun. Katanya ben ora ngisin-isini nek arep pementasan ketoprak gedhog.”
Nuryanto sendiri yang mengabil kostum itu ke rumah Kirun di Krandang, Madiun, Jawa Timur. Kirun berpesan agar Sanggar Lumaras Budaya menjaga seni ketoprak di Jawa Tengah, sama seperti ia melestarikan seni ludruk di Jawa Timur.
Kini sekitar 20 orang pemain dan 15 pengrawit terlibat dalam grup ketoprak Lumaras Budaya. Hampir semuanya seniman paro waktu yang punya pekerjaan pokok selain main ketoprak.
Salah satunya Subadi yang sehari-hari membuka bengkel sebagai sumber penghasilan utama. Sudah 40 tahun dia ikut main ketoprak bergabung dengan banyak grup.
“Kados kulo pokoknya senang ketoprak. Cuma buat hiburan. Tapi dulu waktu saya masih muda ya bisa untuk beli beras. Saya dulu pernah pentas satu hari empat tempat.”
Kata Subadi, pada masa Presiden Soeharto pertunjukan kesenian rakyat ditanggap hingga tingkat RT. Pada perayaan kemerdekaan bulan Agustus misalnya, kelompok ketoprak kebanjiran job.
“Riyin jaman Presiden Pak Harto itu kados Magelang niku, RT-RW ada hiburan sedoyo. Mengadakan hiburan sendiri-sendiri. Tapi dulu. Sekarang sudah ndak ada lagi.”
Menghidupi Pentas
Alih-alih menggantungkan hidup dari honor tanggapan, pemain ketoprak sekarang malah lebih sering nombok agar bisa pentas. Kebanyakan pementasan atas permintaan sesama anggota sanggar atau kenalan.
Pada pentas mandiri, rata-rata pemain urunan Rp100 ribu untuk menutup biaya sound system dan sewa panggung. Beruntung Sanggar Lumaras Budaya memiliki sinden dan perangkat gamelan sendiri sehingga bisa menghemat pengeluaran.
Menurut Nuryanto, sanggar umumnya menawarkan tarif Rp7 juta hingga Rp8 juta untuk undangan pentas bayaran. Biasanya separonya sudah habis untuk biaya tetek bengek persiapan pentas.
“Sini nggak narget. Penting akomodasinya sudah lengkap. Cukup untuk bensin angkut panggung ya sudah. Kalau diuangkan kurang lebih Rp7 juta sampai Rp8 juta, tergantung jauh-dekatnya lokasi.”
Jika ada uang sisa baru dibagi untuk para pemain dan pengrawit. “Kalau dibagi paling cuma dapat Rp200 ribu. Ya kadang juga nggak pasti,” kata Nuryanto.
Zaman berubah. Orang sekarang lebih suka nanggap organ tunggal atau dangdutan. Mereka sudah keburu takut nanggap ketoprak biayanya pasti mahal.
Bagi para pelaku seni seperti Mbah Timbul, Nuryanto, dan Subadi, main ketoprak sudah jadi panggilan hati. Dibayar atau harus membayar, bukan lagi pokok persoalan.
Kekhawatiran utama mereka, lebih pada kelangsungan seni tradisional ini. Kesempatan untuk mempertontonkan ketoprak kepada masyarakat banyak semakin jarang.
Sanggar Lumaras Budaya berharap punya panggung tetap yang bisa dipakai menggelar pementasan rutin. Menunjukkan ekistensi bahwa mereka masih ada dan terus berkreasi.
"Minimal sanggar itu untuk pertunjukan ketoprak punya panggung sendiri. Jadi kalau pentas, sanggar itu biayanya minim. Tinggal rias terus pentas."
Nuryanto melihat ruang ketoprak untuk unjuk kreasi saat ini masih minim. Belum ada agenda rutin bagi kelompok ketoprak untuk menggelar pertunjukan.
"Kalau nggak ada tempat pentas, minimal ada kesempatan siaran radio lah. Kita duduk-duduk, sambil buat lakon. Siaran live di radio. Jadi ketoprak itu diwadahi."
Kontributor : Angga Haksoro Ardi