Politik Etis di Hindia Belanda
Semangat politik etis menyapa rakyat Hindia Belanda melalui 3 program: Edukasi, irigasi, dan emigrasi.
Pemerintah penjajahan mulai membuka sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi yang terbatas hanya untuk kaum priyayi atau keturunan indo.
Lulusan sekolah seperti Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), atau Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA), disiapkan menjadi pegawai pemerintahan atau tenaga kerja pabrik-perkebunan milik Belanda.
Baca Juga:Heboh karena Dikunjungi Jokowi dan Prabowo, Ini 5 Fakta Unik Bakso Pak Sholeh Magelang
“Politik etis sebagai propaganda kolonial dipandang sebagai upaya baru menghilangkan kesenjangan penjajah dan terjajah. Dengan cara menghilangkan budaya asli koloni untuk digantikan dengan budaya penjajah.”
Pengertian politik etis ala kolonial itu dijelaskan dalam makalah “Ethical Politics and Educated Elites in Indonesian National Movement”. Ditulis bersama oleh peneliti Fakultas Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Sumarno, R.N Bayu Aji, dan Eko Satriya Hermawan.
Pendidikan dalam sudut pandang kolonialisme, hanya terbatas pada upaya memastikan ketersediaan angkatan kerja sesuai standar pemerintah.
Begitu juga dengan proyek irigasi yang menjadi program politik etis lainnya. Saluran pengairan dibangun untuk mendukung usaha perkebunan yang dikelola oleh perusahaan milik pemerintah Belanda. Jika air mengairi sawah warga, hampir dipastikan wilayah itu masuk dalam kuasa perkebunan.
Senada dengan itu, program perpindahan penduduk di masa kolonial, bertujuan menyebar sumber daya pekerja ke perkebunan-perkebunan swasta milik Belanda di Sumatera dan Borneo.
Baca Juga:Mengingat Kembali Kisah Johannes Van Der Steur, Kompeni Belanda Asuh Ribuan Anak di Magelang

Magelang Vooruit