Nukilan pesan Mpu Tantular itu yang kemudian kita kenal sebagai Bhineka Tunggal Ika. Simbol pemersatu bangsa-bangsa bumi Nusantara yang kelak disebut Indonesia.
“Pada Pancasila ada sebuah unen-unen yang kita kenal Bhineka Tunggal Ika. Secara sederhana maknanya ‘berbeda-beda tetapi tetap satu’,” kata Sekretaris Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Kabupaten Magelang, Agung Nugroho pada Sabtu (1/5/2024).
Agung menduga Majapahit pada era Mpu Tantular juga melalui masa-masa gejolak sosial akibat perbedaan keyakinan. Kalimat ‘Konon Buddha dan Siwa adalah dua zat yang berbeda’ menegaskan pertentangan itu.
“Mungkin masa itu tidak jauh berbeda dengan sekarang. Terjadi gejolak. Perpecahan karena perbedaan keyakinan.”
Bhineka Tunggal Ika pada Kakawin Sutasoma, kata Agung menjadi penengah konflik penganut Hindu Siwa dan Buddha. Mpu Tantular menemukan tujuan gerak pendharmaan yang sama pada ajaran Hindu Siwa dan Buddha.
“Bahwa (dalam) perbedaan yang satu itu, tidak ada dharma atau laku yang mendua. Jadi, baik (Hindu) Siwa maupun Buddha, sama-sama menjalankan dharmanya dalam kehidupan,” ujar Agung.
Ritus Pancasila di Candi Aso
Pemahaman itu yang kembali direnungi oleh para penghayat kepercayaan melalui ritus tapa mutih dan prasawya. Ritual yang digelar sebagai rangkaian memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2024.
Diterangi nyala oncor, puluhan penghayat kepercayaan khusyuk melakukan ritual berjalan kaki mengelilingi tiga situs suci di kompleks candi Sengi: Pendem, Aso, dan Lumbung.
Baca Juga:Sejarah Panjang Majalah Magelang Vooruit, Strategi Para Etis Belanda Mempromosikan Tanah Koloni
“Candi itu suci. Pancasila juga suci. Pancasila diadopsi dari naskah-naskah kuno. Kearifan lokal. Kearifan luhur di Nusantara. Termasuk candi-candi ini juga,” kata Presidium MLKI Kabupaten Magelang, KiKis Wantoro.