Warga penghayat kepercayaan meyakini kompleks candi Sengi sebagai pusat permukiman kuno di lereng Gunung Merapi. Peradaban yang kemudian hilang terkubur abu letusan vulkanik.
Ritual prasawya atau jalan mengitari candi ke arah kiri (berlawanan arah jarum jam) dimulai dari Candi Lumbung. Ritual ini memiliki makna manusia kembali pada kematian atau penyucian diri.
Candi Lumbung dipilih sebagai tempat permulaan ritual karena dianggap sebagai candi pertimah. Di candi pertimah warga biasanya menggelar upacara doa sebelum mulai bercocok tanam.
“Terus ke Candi Lumbung. Tempat penyimpanan padi. Candi Lumbung kami meyakini itu candi Dewi Sri. Jadi untuk sembahyang mengucapkan sukur kepada pencipta atas karunia hasil panen.”
Ritual para penghayat kepercayaan kemudian berakhir di Candi Aso. Candi yang diyakini oleh sebagian orang sebagai tempat “istirahat” Maharaja Rakai Kayuwangi.
“Istilah Aso itu kan artinya istirahat. Kalau sekarang ditulis Candi Asu, memang karena yang lebih dikenal nama itu. Tapi kami meyakini bahwa ini Candi Aso atau candi untuk beristirahat.”
Merujuk pada siklus tanam padi oleh masyarakat kuno Merapi, Candi Aso mewakili masa jeda setelah panen. Tanah diistirahatkan sebelum digarap kembali.
Siklus tanam padi yang dijalankan secara arif itu menunjukkan bahwa peradaban kuno Merapi tidak bertujuan mengeksploitasi hasil bumi.
Tanah ditempatkan sebagai sumber daya suci yang harus dijaga kelestarianya. Falsafah luhur ini sesuai dengan budi pekerti dalam Pancasila.
Baca Juga:Sejarah Panjang Majalah Magelang Vooruit, Strategi Para Etis Belanda Mempromosikan Tanah Koloni
Kenduren Mutih