Jadi Gedung Opera Pertama, Ini Cerita Bangunan Tua Marabunta di Semarang

Kota Semarang memiliki banyak bangunan tua, setiap bangunan memiliki sejarah dan cerita yang unik

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 17 Maret 2021 | 07:53 WIB
Jadi Gedung Opera Pertama, Ini Cerita Bangunan Tua Marabunta di Semarang
Bangunan tua Schouwburg atau Marabunta yang tertutupi pagar biru di Kota Lama Semarang [Ayosemarang.com/Vedyana]

SuaraJawaTengah.id - Kota Semarang memang memiliki banyak bangunan-bangunan tua yang memiliki sejarah dan cerita-cerita unik. Pernah menjadi pusat perdagangan para penjajah Belanda maka tak heran jika terdapat ratusan bangunan cagar budaya di Kota Lumpia. 

Kota lama misalnya, kawasan Kota Semarang tersebut nyaris bangunan yang ada adalah gedung-gedung peninggalan Belanda. Bangunan-bangunan tua di kawasan Kota Lama itu tentu memiliki sejarahnya dan fungsinya masing-masing.

Salah satunya adalah bangunan tua Schouwburg, atau yang saat ini lebih familiar di kalangan masyarakat dengan sebutan Gedung Marabunta. 

Dilansir dari Ayosemarang.com, Schouwburg atau Gedung Marabunta dulunya merupakan gedung pertunjukan teater opera di masa kolonial Belanda di Semarang sekitar tahun 1800-an.

Baca Juga:Sambut Hari Raya Nyepi, Penerbangan Semarang-Bali Berhenti Beroperasi

Gedung Schouwburg terletak di jalan Cendrawasih, kawasan Kota Lama. Saat ini, terlihat kondisinya hanya tersisa beberapa bagian bangunan saja.

Di depan bangunan pun telah terpagar oleh pagar bercat biru. Sehingga sedikit saja bagian yang mampu dilihat, yakni bagian atasnya saja.

Sementara, gedung yang ada di sebelahnya merupakan bangunan baru yang berdiri di atas bekas panggung utama Schouwburg.

Ahli cagar budaya Semarang, Tjahjono Raharjo menceritakan, Schouwburg merupakan satu-satunya gedung pertunjukan di kawasan Kota Lama saat itu. Dan termasuk bangunan mewah kala itu.

Ia menggambarkan, Schouwburg memiliki prinsip yang tidak jauh berbeda dengan pertunjukan teater opera. Yang mana panggung utama berada di satu sisi, sedangkan penonton berada di sisi lainnya.

Baca Juga:Wow! Mahasiswa Udinus Semarang Ciptakan Alat Pendeteksi Diabetes

"Meski tidak semegah gedung Opera di Eropa, nyatanya Schouwburg cukup memberikan hiburan opera bagi warga Belanda yang ada di Semarang. Dan tentu pertunjukan Operanya juga berbeda jika dibandingkan di Eropa sana," ujarnya, Selasa (16/3/2021).

Tjahjono menerangkan, bangunan yang tersisa dari Schouwburg hanyalah bagian depan yang dahulu digunakan sebagai pemberhentian pengunjung pertunjukan di Schouwburg yang menggunakan kereta kuda.

"Tinggal bagian depannya saja. Karena pada masa penjajahan Jepang, gedung Schouwburg jadi kumuh dan rusak di beberapa bagian karena tidak digunakan dan kurang perawatan," imbuhnya.

Menurutnya, Schouwburg hanya didatangi oleh kalangan menengah ke atas saat itu. Sedangkan kalangan menengah ke bawah dan pribumi, tentunya tidak akan diperbolehkan memasukinya.

"Lalu siapa arsitek yang membuat Schouwburg, saya kurang tahu. Karena pada awal abad 19 itu memang belum ada arsitek di Semarang. Arsitek dari Belanda itu mulai datang sekitar 1900-an," ucapnya.

Karena tidak diperbolehkannya pribumi masuk ke dalam Schouwburg. Sebagai bentuk reaksi masyarakat Jawa saat itu, akhirnya tercetuslah gedung pertunjukan versi masyarakat pribumi saat itu.

"Jadi ada pemikiran orang Jawa saat itu ayo kita bikin gedung pertunjukan sendiri untuk kesenian Jawa. Makanya muncullah Sobokartti itu sebagai bentuk reaksi. Yang mana desain Sobokartti dibuat oleh Thomas Karsten. Dia termasuk orang Belanda yang menghargai budaya Jawa," terangnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak