Mencari Benang Kusut Perbudakan ABK di Jateng dan Pengaruh Pandemi Covid-19

Menjadi ABK, memaksa seseorang harus hidup di tengah lautan, tak melihat kondisi cuaca dan tingginya ombak, kebutuhan keluarga harus terpenuhi

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 21 Januari 2022 | 10:26 WIB
Mencari Benang Kusut Perbudakan ABK di Jateng dan Pengaruh Pandemi Covid-19
Ketika SBMI dan Greenpeace melakukan aksi di depan Kantor Gubernur Jateng. [suara.com/Dafi Yusuf]

SuaraJawaTengah.id - Menjadi ABK, memaksa seseorang harus hidup di tengah lautan, tak melihat kondisi cuaca dan tingginya ombak, kebutuhan keluarga harus terpenuhi

Hidup di tengah laut selama bertahun-tahun tak pernah terbayang di fikiran Boy (bukan nama asli). Desakan ekonomi serta kebutuhan keluarga membawanya pada sisi gelap bisnis kapal asing penangkap ikan luar negeri.

Perjalanan dimulai ketika Boy ditawari salah satu tetangganya untuk bekerja di sebuah kapal asing dengan gaji menggiurkan jika dibandingkan dengan pendapatannya selama bekerja di Indonesia.

Mendengar tawaran tersebut, Boy merasa tertarik. Dia merasa yakin dengan tawaran itu karena sering mendengar kasak-kusuk jika gaji menjadi ABK di kapal asing sangat besar.

Baca Juga:Diduga Jatuh ke Perairan Merak saat Mancing, ABK KMP Suki 2 Masih dalam Pencarian

Pada tahun 2018, Boy memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Dia bekerja di sebuah kapal penangkap ikan berbedera China.

Pertama tiba, dia merasa nyaman dengan kondisi kapal  yang  cukup bagus. Selain itu, menu makanan juga dirasa cukup baik untuk para ABK yang membutuhkan banyak energi.

Satu malam telah Boy lalui dengan tenang hidup di dalam kapal. Malam itu, dia masih bisa tidur dengan nyenyak. Ya, hanya terdengar suara ombak. Malam yang begitu indah bagi Boy.

Pada hari berikutnya, hari-hari Boy berubah. Hal-hal manis yang biasa dia dengarkan ketika menjadi ABK ternyata omong kosong. Dia merasa tertipu!

Perlakuan kasar yang dilakukan oleh kapten kapal tempat dia bekerja dianggap lumrah. Banyak teman-temannya yang kena pukul kapten kapal. Bahkan, kapten kapal tak segan memukul para ABK menggunakan kayu.

Baca Juga:Tuduh Curi HP-nya, ABK Tusuk Empat Rekannya di Muara Baru, Sempat Pesta Miras

Selain mendapatkan kekerasan fisik, Boy dan teman-temannya juga sering bekerja dengan waktu yang tak manusiawi. Dalam satu hari, dia bisa kerja 18 jam lebih.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini