SuaraJawaTengah.id - Menjadi ABK, memaksa seseorang harus hidup di tengah lautan, tak melihat kondisi cuaca dan tingginya ombak, kebutuhan keluarga harus terpenuhi
Hidup di tengah laut selama bertahun-tahun tak pernah terbayang di fikiran Boy (bukan nama asli). Desakan ekonomi serta kebutuhan keluarga membawanya pada sisi gelap bisnis kapal asing penangkap ikan luar negeri.
Perjalanan dimulai ketika Boy ditawari salah satu tetangganya untuk bekerja di sebuah kapal asing dengan gaji menggiurkan jika dibandingkan dengan pendapatannya selama bekerja di Indonesia.
Mendengar tawaran tersebut, Boy merasa tertarik. Dia merasa yakin dengan tawaran itu karena sering mendengar kasak-kusuk jika gaji menjadi ABK di kapal asing sangat besar.
Baca Juga:Diduga Jatuh ke Perairan Merak saat Mancing, ABK KMP Suki 2 Masih dalam Pencarian
Pada tahun 2018, Boy memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Dia bekerja di sebuah kapal penangkap ikan berbedera China.
Pertama tiba, dia merasa nyaman dengan kondisi kapal yang cukup bagus. Selain itu, menu makanan juga dirasa cukup baik untuk para ABK yang membutuhkan banyak energi.
Satu malam telah Boy lalui dengan tenang hidup di dalam kapal. Malam itu, dia masih bisa tidur dengan nyenyak. Ya, hanya terdengar suara ombak. Malam yang begitu indah bagi Boy.
Pada hari berikutnya, hari-hari Boy berubah. Hal-hal manis yang biasa dia dengarkan ketika menjadi ABK ternyata omong kosong. Dia merasa tertipu!
Perlakuan kasar yang dilakukan oleh kapten kapal tempat dia bekerja dianggap lumrah. Banyak teman-temannya yang kena pukul kapten kapal. Bahkan, kapten kapal tak segan memukul para ABK menggunakan kayu.
Baca Juga:Tuduh Curi HP-nya, ABK Tusuk Empat Rekannya di Muara Baru, Sempat Pesta Miras
Selain mendapatkan kekerasan fisik, Boy dan teman-temannya juga sering bekerja dengan waktu yang tak manusiawi. Dalam satu hari, dia bisa kerja 18 jam lebih.
"Saya juga pernah tak tidur dalam satu hari. Biasanya itu terjadi jika banyak ikan," jelasnya sembari menunjukan kelopak matanya yang sudah menghitam.
Saat itu, banyak ABK yang mulai sakit-sakitan. Bahkan, salah satu dari temannya kakinya sampai bengkak dan muntah darah. Namun, temannya itu tetap dipaksa bekerja oleh kapten kapal.
Boy dan teman-temannya dilarang sakit. Perusahaan kapal pencari ikan itu seperti tak mau rugi jika para ABK sakit dan berhenti kerja karena akan mengurangi tangkapan ikan mereka.
Beruntung, pada tahun 2019 Boy bisa kembali pulang. Namun, kepulangan Boy kurang tepat. Boy pulang ketika pandemi Covid-19 sedang menggila.
Selama beberapa bulan Boy menganggur karena sulit mendapatkan pekerjaan saat pandemi. Karena terdesak kebutuhan keluarga, Boy memutuskan untuk mencoba keberuntungan menjadi ABK di kapal asing yang berbeda.
Di kapal yang kedua, dia mengalami permasalahan yang berbeda. Perusahaan kapal itu belum memberikan gaji kepada Boy selama beberapa bulan.
Sampai saat ini Boy masih memperjuangkan upahnya yang belum diberikan oleh perusahaan. Dia tak akan menyerah, apa yang menjadi haknya akan terus dia tagih.
"Sudah enam bulan gaji saya juga belum diberikan," katanya.
Dalam hal ini, Boy tak sendirian. Terdapat sekitar 150 laporan ABK yang sudah melapor ke Serikat Buruh Migran Indonsia (SBMI) Cabang Tegal. Pandemi Covid-19, disinyalir turut mempengaruhi perbudakan yang dialami oleh ABK.
Sekretaris SBMI Tegal, Erni membenarkan jika sudah ada ratusan ABK yang melapor ke SBMI. Laporan dari ABK juga bermacam-macam, mulai dari kekerasan hingga tak sampainya gaji ABK kepada keluarga.
"Jadi kalau ABK itu gajinya dibagi dua, ada yang dikasih di kapal dan ada juga yang dikasih atau ditransfer kepada keluarga," jelasnya.
Selain tergiur dengan janji manis soal gaji, para korban terpaksa menjadi ABK di kapal asing karena desakan ekonomi selama pandemi.
Banyak yang beranggapan mencari pekerjaan saat pandemi cukup sulit. Dengan tawaran menjadi ABK dengan iming-iming gaji yang cukup besar membuat banyak warga yang tertarik menjadi ABK di kapal asing.
"Kebanyakan karena desakan ekonomi saat pandemi, sebagian besar korban tak mempunyai pengetahuan yang mumpuni soal dunia laut," ucapnya.
Selain itu, para ABK yang bekerja di kapal tersebut tak melalui training. Hal itu membuat para ABK kesulitan berkomunikasi dengan kapten kapal karena terkendala bahasa.
"Jadi biasanya mereka pakai bahasa isyarat," paparya.
Berdasarkan data SBMI mayoritas agency yang menyalurkan ABK ke kapal asing ilegal. Kurang lebih hanya ada 10 agency yang sudah terdaftar, itupun tak semuanya patuh dengan peraturan.
"Kalau yang ilegal itu ada 45 agency di sekitar Tegal, Pemalang dan Pekalongan," ujarnya.
"Kalau dalam peraturannya untuk menjadi tenaga migran harus diikutkan di jaminan kesehatan sosial, namun kebanyakan malah tak diasuransikan oleh perusahaan," imbuhnya.
Jika dia lihat banyak perusahaan kapal yang tak menerapkan asuransi kecelakaan kepada ABK. Bahkan, banyak juga ABK yang dipaksa tetap bekerja meski dalam keadaan sakit.
Ada juga perusahaan yang tak bertanggungjawab ketika ada kecelakaan kerja di kapal. Pihaknya pernah mendapat laporan terdapat ABK yang jatuh dari kapal, namun perusahaan tak mau bertanggungjawab.
"Hampir 90 persen ABK di wilayah Tegal dan Pemalang bekerja melalui agency dan perusahaan ilegal," katanya meyakinkan.
Dia menegaskan, apa yang dialami ABK di kapal adalah perbudakan. Banyak ABK yang terisolasi di tengah laut selama bertahun, komunikasi para ABK terputus dengan keluarga.
Laporan yang dia peroleh, terdapat ABK yang dipaksa bekerja selama 20 jam. Hal itu membuat para ABK banyak yang depresi karena tertekan.
Sejauh ini, SBMI sudah mengadu kepada Dinas Ketenagarkerjaan (disnaker) daerah dan provinsi namun tak ada respon yang serius. Selain itu, dinas-dinas tersebut juga tak mempunyai data soal berapa banyak ABK yang ikut di perushaan ilegal.
"Peran pemerintah itu masih kurang, mereka seolah-olah tak mau tahu. Banyak kasus yang masih mandeg di mereka," paparnya.
Perusahaan Tak Menerapkan K3
Sementara itu, Juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Afdillah menambahkan, selama 2015-2021 sebanyak 45 ABK Indonesia meninggal saat bekerja kapal ikan asing dan 21 di antaranya (46,6%) berasal dari Jawa Tengah.
Hal itu disebabkan praktik penipuan, penjeratan utang dan kerja paksa dalam perekrutan dan penempatan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal ikan asing.
Dalam laporan yang diterbitkan Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI Mei lalu, berjudul “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers”, ditemukan sebanyak 20 manning agency (agen perekrut dan penyalur ABK) terlibat dalam praktik ilegal perbudakan ABK Indonesia
"Dan sebagian besar beroperasi di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa Tengah," imbuhnya.
Laporan ini mengungkap sejumlah indikator kerja paksa yang kerap menimpa para ABK, seperti pemotongan upah, kondisi kerja dan kehidupan yang penuh kekerasan, penipuan, dan penyalahgunaan kerentanan.
Mengingat Jawa Tengah adalah salah satu wilayah konsentrasi perekrutan ABK di Indonesia, SBMI, Greenpeace Indonesia dan Persatuan BEM BREGAS menilai Pemerintah Daerah Jawa Tengah perlu segera bertindak dan melakukan evaluasi seluruh manning agency di provinsi tersebut.
"Hal ini untuk mendorong perubahan dalam perbaikan tata kelola perekrutan, penempatan dan pelindungan ABK," ujarnya saat ditemui di depan Kantor Gubernur Jateng beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah Jawa Tengah juga harus memastikan adanya layanan pengaduan dan penanganan yang adil terhadap kasus eksploitasi ABK, termasuk dalam pemenuhan hak para ABK yang sudah kembali ke Tanah Air.
"Merujuk pada Surat Edaran Mendagri Nomor 560/2999/Bangda, Gubernur (dan Bupati/Walikota) harus melaksanakan urusan wajib bidang ketenagakerjaan sebagaimana tercantum dalam UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah," katanya.
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang secara rinci tertuang dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Menurutnya, berbagai permasalahan yang dialami ABK dari tahun ke tahun tidak menunjukkan sinyal perbaikan terutama soal Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk ABK kapal asing yang berasal dari Jateng.
"Untuk itu, gubernur harus segera mengimplementasikan SE Mendagri tersebut," imbuhnya.
Dia menegaskan, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pelindungan pekerja migran Indonesia, termasuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan perekrut ABK.
"Ada juga kejadian seorang ABK yang tangannya terikat, mulutnya dibekap dan tubuhnya terperangkap dalam jaring," ucapya.
Berdasarkan aduan, korban dipaksa bekerja belasan jam setiap hari di bawah intimidasi mental dan fisik, hidup dalam kondisi mengenaskan dengan asupan makan dan minum yang tidak layak, dan tak bisa melarikan diri karena berada di laut lepas yang jauh dari daratan.
"Perbudakan terhadap ABK ini kerap berdampingan dengan praktik perikanan ilegal di skala global yang kita kenal dengan nama IUU (illegal, unreported, unregulated) fishing," imbuhnya.
Permintaan ikan yang terus meningkat sedangkan stok ikan sudah berkurang drastis, membuat banyak perusahaan produk makanan laut dan pemilik kapal sudi melakukan berbagai cara untuk tetap meraup untung, bahkan dengan mengeksploitasi ABK.
"Di sisi lain, karena tekanan ekonomi dan keterbatasan lapangan pekerjaan, akan selalu ada anak muda yang berminat menjadi ABK. Rantai ini yang perlu kita putus," harapnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah, Sakina Rosellasari membenarkan banyak ABK yang meninggal saat melakukan pekerjaan di kapal,
Berdasarkan data UPT BP2MI, ABK migran yang meninggal tahun 2019 berjumlah 7 ABK, tahun 2020 berjumlah 20 ABK , tahun 2021 berjumlah 9 ABK meninggal karena sakit dan kecelakaan kerja.
"Adapun perusahaan ilegal untuk jumlah di Tegal ada 25 dan Pemalang 23 perusahaan," paparnya.
Beberapa aduan yang masuk di Disnaker Jateng seperti gaji tidak dibayar, kecelakaan kerja, meninggal dunia, ABK hilang, ABK sakit dan ABK dipulangkan.
"Terkait pernyataan SBMI adanya perbudakan mungkin karena perbedaan penyebutan permasalahan, Misal gaji tidak dibayar, sehingga dikategorikan perbudakan," sambungnya.
Sejauh ini, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kepala Dinas Perindustrian Dan Tenaga Kerja Kabupaten Tegal Dan Dinas Kepala Dinas Perindustrian Dan Tenaga Kerja Kabupaten Brebes untuk mohon bantuan dukungan, menyelesaikan, dan memastikan pemenuhan hak-hak para ABK.
"Pemenuhan tersebut untuk ABK yang meninggal baik gaji maupun asuransi dalam dan luar negeri dapat diterima oleh keluarga serta melacak keberadaan direktur perusahaan yang bermasalah," paparnya.
DPRD Bentuk Tim Pansus
Semenatara itu, Anggota komisi B DPRD Jateng, Andang Wahyu Triyanti mengatakan, dewan sudah membentuk pansus raperda perlindungan nelayan, termasuk di dalamnya mengatur terkait dengan buruh nelayan.
"Terkait perusahaan ikan tanpa izin, pemprov harus segera menindaklanjutinya sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat Jawa Tengah," ujarnya.
Selain itu, Selain itu, pemerintah harus aktif mensosialiasikan kepada masyarakat terkait permasalahan yang dialami ABK di laut agar tidak adalagi tenaga kerja di kapal perikanan yang bernasib sama.
"Pemprov harus mendapingi dan memberikan dampingan hukum kepada para korban, hingga semuanya terselesaikan dan hak korban terpenuhi," pesannya.
Menurutnya, perlu ada upaya kerjasama yang kongkrit dalam pengawasan, mulai dari pemerintah provinsi, otoritas dipelabuhan dan aparat penegak hukum di laut.
"Sehingga Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk para awak kapal perikanan bisa dilaksanakan dengan baik dilapangan," paparnya.
Kontributor : Dafi Yusuf