SuaraJawaTengah.id - Kehamilan tidak direncanakan menjadi situasi yang sulit bagi perempuan, apalagi korban kejahatan seperti pemerkosaan atau di luar pernikahan, memilih untuk aborsi bukan menjadi pilihan terbaik, meski nantinya akan dijauhi oleh keluarga maupun sahabat
Tak sedikit perempuan di Jawa Tengah mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Namun, akses mereka buat memilih aborsi aman nyaris mustahil.
Hal itu lantaran belum adanya regulasi yang mengizinkan pelaksanaan aborsi di Indonesia. Bahkan, pelarangan aborsi dipertegas dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal itu menyebutkan setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Ketiadaan jaminan akses aborsi sehat dan layak akhirnya berisiko buat mereka yang melakukan aborsi mandiri. Padahal tak jarang perempuan jadi korban kekerasan seksual ataupun mengalami KTD.
Baca Juga:Sidang Kasus Aborsi 7 Janin di Makassar, Saksi Ketakutan Lihat Terdakwa Pria
Data Guttmacher Instite menyebut pada 2018, 45 dari 1.000 perempuan di Jawa Tengah berusia 15-59 tahun melakukan aborsi mandiri. Sebagian besar kasus aborsi tersebut dilakukan di luar koridor hukum dan dilakukan dalam kondisi tidak aman.
SuaraJawaTengah.id pun mencoba menggali cerita tentang praktik aborsi mandiri yang dilakukan perempuan di Jawa Tengah.
Dita (24) perempuan asal Jawa Tengah merupakan satu dari puluhan perempuan yang pernah mengalami KTD. Ia memilih aborsi bukan tanpa alasan.
"Empat tahun lalu tepatnya 2018 aku mengalami KTD. Saat itu usiaku baru 20 tahun dan masih kuliah," tutur Dita, Kamis (20/10/2022).
Meski hal itu berisiko namun Dita tak punya pilihan lain, selain statusnya masih lajang ia juga masih menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Jawa Tengah.
Baca Juga:Siskaeee Ungkap Alasan Pamer Alat Vital Vulgar: Balas Dendam Karena Alami Hal Pilu Ini
KTD yang dialami Dita baru terdeteksi setelah usia kandungan 3 bulan. Ia pun memutuskan untuk aborsi mandiri. Ia bersama pasangannya pun membeli pil aborsi ilegal melalui toko online.
"Saat itu harganya Rp1,5 juta untuk satu paket. Setelah aku konsumsi, badanku mengalami demam hebat dan pendarahan selama sepekan," tuturnya.
Dita mengalami sakit parah pasca-mengonsumsi pil aborsi yang ia beli di pasar gelap tersebut.
Walaupun ia tersiksa, namun Dita tak mau mendapatkan perawatan medis karena takut aborsi mandiri yang ia lakukan diketahui orang.
Tanpa perawatan medis Dita bertahan menahan rasa sakit di rumah kontrakan yang ia tempati bersama pasangannya.
Usai melewati masa-masa kritis dan mulai pulih, Dita memberanikan diri melakukan tes kehamilan. Dita pun dikejutkan dengan hasil tes tersebut, karena hasil tes yang ia lihat masih positif hamil.
Melihat hasil tes tersebut, terbesit keinginan untuk meneruskan kehamilannya dan merawat janin yang ada di rahimnya.
Tapi, karena status dan pasangannya belum memiliki pekerjaan tetap, Dita dan pasangannya kembali memutuskan untuk melakukan aborsi mandiri untuk kedua kalinya.
Berbagai upaya untuk mendapatkan uang dilakukan Dita dan pasangannya untuk membeli pil aborsi. Usai uang terkumpul, Dita kembali membeli pil aborsi lewat pasar online.
"Yang kedua juga Rp1,5 juta jadi total Rp 3 juta untuk dua paket. Setelah aku konsumsi, badanku kembali demam dan pendarahan parah di vagina selama sepekan. Namun setelah itu keluar gumpalan daging dari vagina, aku juga kejang-kejang saat gumpalan itu keluar," paparnya.
Setelah melewati fase pemulihan mental, pada awal 2022 Dita memberanikan diri untuk melakukan pemeriksaan alat reproduksinya ke tim medis.
"Aku ngerasa beruntung sekali karena tidak ada gangguan kesehatan dan bisa recovery. Aku juga paham kalau melakukan aborsi mandiri penuh risiko bahkan nyawa jadi taruhan. Setelah mengalami pengalaman pahit itu aku jadi lebih paham untuk menentukan hak hidup, namun keputusan aborsi saat itu jadi jalan terbaik agar bisa meneruskan hidup dan menata masa depanku," tutur Dita.
Sediakan Ruang Aman Perempuan Alami KTD
Melihat kondisi perempuan yang mengalami KTD dan tak tersedianya ruang aman bagi mereka, Rosalia Amaya (56) tergugah untuk mendirikan Griya Welas Asih.
Griya Welas Asih yang terletak di jalan Seteran Tengah nomor 52 Kota Semarang, merupakan rumah aman bagi perempuan korban pemerkosaan hingga KTD.
Bangunan Griya Welas Asih tampak seperti rumah biasa, ruang tamu tak terlalu luas dan dinding berkelir kuning menghiasi rumah aman bagi perempuan tersebut.
Lebih dekat ke ruang tamu, susunan foto sejumlah bayi ditata sedemikian rupa menyerupai pohon cemara. Foto tersebut merupakan foto bayi dari para perempuan yang mengalami KTD hingga korban perkosaan yang menjadi anak asuh di Griya Welas Asih.
Rosalia Amaya yang akrab disapa Mamah Rosa, menuturkan arti dari Griya Welas Asih yakni, membantu penuh dengan cinta kasih tanpa membedakan.
Ia juga menuturkan Griya Welasa Asih didirikan untuk menolong para perempuan yang mengalami KTD tanpa membedakan.
Mamah Rosa menghela nafas panjang, matanya tampak berkaca-kaca kala menceritakan kisahnya saat menolong perempuan berusia 15 tahun yang mengalami KTD.
"2018 lalu saya menerima informasi dari kerabat perempuan tersebut, perempuan itu dalam kondisi hamil dan depresi di usia sekolah," terangnya saat ditemui SuaraJawaTengah.id di Griya Welas Asih, Senin (24/10/22).
Menurut Mamah Rosa, perempuan tersebut terpaksa berhenti sekolah untuk sementara waktu dan disembunyikan keluarganya agar tak mendapatkan stigma dari lingkungan sekolah hingga tetangga.
Anak itu dari perbatasan Kota Semarang, orang tuanya bingung harus mengungsikan putrinya ke mana karena malu jika ketahuan hamil. Hal itu membuat Mamah Rosa tersentuh dan memutuskan untuk merawat perempuan itu hingga melahirkan.
Tak hanya itu, kisah pilu juga diceritakan Mamah Rosa saat membantu perempuan berusia 14 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual seperti perkosaan hingga hamil.
"Melihat kondisi para perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan KTD membuat saya sedih. Tak jarang mereka depresi berat karena menjadi korban ditambah stigma lingkungan dan orang tua yang tak mau menerima," ujar Mamah Rosa.
Mama Rosa menuturkan perempuan berusia 14 tahun tersebut diperkosa oleh orang terdekatnya dan keluarganya tidak mau menerima kondisi perempuan itu.
Korban perkosaan itu akhirnya dititipkan ke Griya Welas Asih oleh keluarga, melihat hal itu, Mamah Rosa mengaku terpukul.
"Dia dititipkan di sini dalam kondisi hamil besar dan mengalami trauma. Hati saya hancur melihatnya, saya cuma bisa berdoa agar anak tersebut kuat," terangnya.
Ia mengatakan, perempuan yang mengalami KTD tak seharusnya dikucilkan dan dijauhkan dari keluarga. Lantaran perempuan yang mengalami KTD rentan akan depresi hingga berujung bunuh diri.
Menurutnya hal yang seharusnya dilakukan oleh orang terdekat seperti keluarga dan teman yakni memberikan dukungan moril.
"Orang hamil itukan sensitif ya, seharusnya mereka berhak mendapatkan support system bukannya malah dibuat tambah setres. Apalagi ini usia dibawah umur," tuturnya.
Perjuangan Mama Rosa untuk merawat anak-anak asuhnya tidaklah mudah. Pengalaman pahit juga ia telan, seperti penolakan dari lingkungan ketika mencarikan rumah kontrakan untuk dijadikan rumah singgah pada 2018 lalu.
"Waktu awal cari rumah kontrakan sempat dapat penolakan dari RT, karena saya cerita rumah yang akan saya kontrak akan dijadikan rumah singgah untuk perempuan hamil korban pemerkosaan dan hamil tanpa pertanggungjawaban laki-laki. Tapi ditolak Ketua RT karena ditakutkan akan menjadi aib di lingkungan sekitar," tuturnya.
Meski mendapatkan penolakan, namun keyakinan dan tekad kuat Mama Rosa, mendorongnya untuk mendapatkan rumah kontrakan dengan lingkungan yang bisa menerima kondisi anak asuhnya.
Dari perjuangannya untuk membantu korban pemerkosaan dan KTD yang tidak diterima keluarga, ia pun mendapatkan tempat di daerah Tanjung Emas Semarang Utara.
Saat itu pada 2018 Griya Welas Asih mendampingi dua perempuan yang tengah hamil tua. Kegigihan Mamah Rosa memberikan ruang aman dan layak bagi anak-anak asuhnya pun tak berhenti sampai di situ.
2019 lalu, Griya Welas Asih kembali pindah, bahkan mendapatkan rumah secara sukarela dari seorang dermawan, yang mau meminjamkan rumahnya untuk dijadikan rumah singgah.
"Saya sangat bersyukur dan selalu berdoa agar anak-anak asuh saya dapat tempat yang layak. Rumah yang ditempati sekarang bantuan dari donatur," terangnya.
Selain memberikan ruang aman, ia juga mendorong anak asuhnya untuk tetap melanjutkan pendidikan. Ia tak mau anak asuhnya putus sekolah pasca melahirkan, selain itu ia menjadi jembatan antara orang tua dan anak asuhnya agar dapat diterima keluarga.
Ia mengupayakan anak asuhnya untuk mendapatkan kejar paket agar dapat menyelesaikan sekolah hingga meraih jenjang universitas.
Hak mendapatkan akses kesehatan yang layak untuk anak asuhnya juga diupayakan Mama Rosa. Meski demikian, jalan terjal kembali ia lewati, kala stigma hamil tanpa pertanggungjawaban lak-laki dan anak asuhnya yang menjadi korban pemerkosaan melakukan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan milik pemerintah.
Mama Rosa mengungkapkan, anak asuhnya sempat mendapatkan stigma hingga berujung trauma dan tak mau menjalani pemeriksaan rutin kehamilan. Lantaran fasilitas kesehatan tersebut dinilai tidak ramah untuk perempuan dengan kondisi KTD dan korban pemerkosaan.
"Karena anak asuh ini masih di bawah umur dan hamil lalu mereka mendapatkan omongan yang membuat trauma, seperti kok bisa hamil padahal masih kecil. Itu bikin saya berpikir tidak seharusnya anak asuh saya diperlakukan seperti itu," bebernya.
Bersama kerabatnya Mama Rosa menemukan salah satu bidan di Kota Semarang yang mau melayani anak-anak asuhnya secara penuh tanpa adanya stigma negatif.
Menurut Rosa, bidan tersebut selalu memberikan pemeriksaan rutin kehamilan hingga konseling psikologi kepada anak asuhnya.
"Saya coba cari-cari bidan yang memang mau menolong kondisi anak asuh saya, saya jelaskan kondisi mereka seperti apa, agar nantinya tidak ada stigma lagi dan akhirnya saya nemu salah satu bidan namanya Klinik Bidan Hendriyati," ucapnya.
Hampir 6 tahun berjalan, Griya Welas Asih telah merawat 40 perempuan dengan kondisi KTD dan korban pemerkosaan dengan 35 bayi.
Rata-rata perempuan tersebut berusia belasan tahun dan berasal dari berbagai daerah seperti Kabupaten Grobogan, Kendal, Pekalongan bahkan Jawa Timur hingga Sumatera.
Saat ini ia mengalami kendala keterbatasan tempat, lantaran rumah singgah yang digunakan hanya memiliki 5 kamar dan hanya bisa menampung 10 orang dengan dua orang pendamping yang berjaya hampir 24 jam.
"Sebenarnya banyak anak perempuan dengan kondisi hamil dan kurang beruntung yang akan dititipkan di Griya Welas Asih tapi karena keterbatasan tempat kami belum menerima," imbuhnya.
Rosalia Amaya juga berharap adanya peran dari pemerintah dalam menangani dan menyediakan rumah aman bagi perempuan serta remaja yang mengalami KTD.
"Semoga pemerintah juga bisa turut andil dengan memberikan rumah aman dan tidak hanya sekedar mensosialisasikan kesehatan reproduksi pada remaja agar tidak terjadi kehamilan tak diinginkan,"harapnya.
Adapun Ratna Nurindah (34) yang merupakan bidan di Klinik Bidan Hendriyati yang berada di jalan Madukoro, Kota Semarang, mengaku telah bekerja sama dengan Griya Welas Asih untuk memberikan layanan kesehatan bagi perempuan hamil korban pemerkosaan dan KTD sejak 2020.
Jarak antara klinik melahirkan yang dikelola Ratna dengan rumah singgah Griya Welas Asih sekitar 3 kilometer.
Menurut Ratna, dua tahun lalu Mamah Rosa datang dan menceritakan kondisi rumah singgah yang digagasnya untuk membantu perempuan korban pemerkosaan hingga anak perempuan di bawah umur yang mengalami KTD.
Mengetahui kondisi anak asuh Griya Welas Asih. Ratna bertekad untuk membantu tanpa meminta imbalan.
"Hati saya tergerak untuk menolong melihat kondisi perempuan yang menjadi anak asuh di Griya Welas Asih. Menurut saya mereka pantas untuk mendapatkan dukungan agar tetap bisa melanjutkan kehamilan tanpa adanya stigma negatif," kata Ratna.
Ratna berujar, selama melayani anak asuh Griya Welas Asih ia tak hanya memberikan pemeriksaan gratis namun juga pemberian vitamin kehamilan setiap bulannya.
Meski demikian ia mengakui konseling psikologis untuk menguatkan mental perempuan hamil di bawah umur dengan KTD menjadi tantangan tersendiri.
"Meski saya bukan psikolog, tapi sebagai bidan saya juga harus bisa memberikan afirmasi positif kepada pasien, apalagi mereka hamil dengan usia yang belum dewasa secara psikologis dan harus ekstra sabar ya, reproduksi juga belum siap betul untuk mengandung," ucapnya.
Ratna mengatakan, meski hampir semua anak asuh Griya Welas Asih rutin melakukan pemeriksaan kehamilan di kliniknya. Tidak semua dari mereka dapat melahirkan dengan kondisi normal.
Pasalnya anak di bawah umur yang mengalami kehamilan sangat rentan akan resiko kelahiran prematur, pendarahan saat persalinan, hingga berat badan bayi rendah ketika lahir yang mengakibatkan kematian pada ibu dan bayi.
"Memang ada yang melahirkan normal mereka juga disini melahirkannya, tapi kalau ada kelainan dan tanda tidak bisa melahirkan normal saya akan beri rujukan ke rumah sakit," terang Ratna.
Kinik Hj.Hendriati yang dikelola oleh Ratna yang bekerjasama dengan rumah singgah Griya Welas Asih milik Rosalia Amaya, telah menolong puluhan anak perempuan dengan KTD.
Ratna berharap, anak asuh Griya Welas Asih dapat melanjutkan kehidupan secara layak serta mendapatkan dukungan dari berbagai pihak agar mampu membesarkan bayinya.
"Semoga mereka bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan mampu merawat bayinya," harap Ratna.
Liputan ini merupakan bagian dari program Pelatihan & Story Grant 'Mengubah Narasi Gender di Media Melalui Jurnalisme Konstruktif' yang dilaksanakan oleh Magdalene.co atas dukungan Austalian Government dan Investing in Women serta bekerja sama dengan SEJUK.
Kontributor : Aninda Putri Kartika