Fee Rp1,75 Miliar Belum Diserahkan, Direktur PT DSP Ungkap Hubungannya dengan Suami Mbak Ita

Sidang Tipikor Semarang soroti dugaan suap proyek pengadaan meja kursi SD yang menyeret mantan Wali Kota Semarang, Hevearita & suami.

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 21 Mei 2025 | 16:24 WIB
Fee Rp1,75 Miliar Belum Diserahkan, Direktur PT DSP Ungkap Hubungannya dengan Suami Mbak Ita
Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa, Rachmat Utama Djangkar, terdakwa dalam kasus dugaan suap terhadap mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu dan suaminya Alwin Basri, pada sidang secara daring di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (21/5/2025). [ANTARA/I.C. Senjaya]

“Tidak dapat laporan secara khusus tentang pengajuan pengadaan meja dan kursi SD karena pengajuan dari Dinas Pendidikan secara global,” ujarnya.

Namun demikian, Hevearita mengakui sempat mempertanyakan besarnya alokasi anggaran tersebut.

Ia menyampaikan bahwa menurut Kepala Dinas Pendidikan, usulan tersebut merupakan aspirasi dari Alwin Basri, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah. Ia bahkan sempat memperingatkan suaminya agar tidak turut campur dalam urusan Pemkot Semarang.

“Saya sampaikan agar jangan ikut-ikut dalam urusan Pemkot Semarang,” tegasnya.

Baca Juga:Mbak Ita dan Suami Didakwa Tiga Kasus Korupsi, Mantan Wali Kota Semarang Terancam Pasal Berlapis

Di sisi lain, Alwin Basri juga memberikan kesaksian mengenai kedekatannya dengan Rachmat Djangkar. Ia mengakui Rachmat pernah membantunya saat Pemilu Legislatif 2019 di daerah pemilihannya, yakni Rembang dan Pati.

“Pak Rachmat memiliki banyak kerabat dan teman di wilayah Rembang,” katanya.

Namun, Alwin membantah telah mengatur kemenangan PT Deka Sari Perkasa dalam lelang proyek tersebut maupun menerima uang dari Rachmat. Ia menyebut bantuan yang diberikan sebatas kebutuhan kampanye.

“Minta bantuan spanduk saja untuk pemilihan calon anggota DPR di wilayah Rembang, Pati, Blora,” jelasnya.

Kasus ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum terkait etika hubungan personal pejabat publik dan pengusaha dalam proyek pengadaan pemerintah. Publik kini menyoroti bagaimana hubungan informal bisa menjadi celah masuknya konflik kepentingan dalam proses birokrasi dan pengadaan barang jasa.

Baca Juga:Tiga Skandal Korupsi yang Menjerat Wali Kota Semarang dan Suaminya

Mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu saat dimintai keterangan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan pemberian suap proyek pengadaan meja dan kursi SD pada 2023 di Pengadilan Tipikor Semarang, Jumat (16/5/2025). [ANTARA/I.C. Senjaya]
Mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu saat dimintai keterangan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan pemberian suap proyek pengadaan meja dan kursi SD pada 2023 di Pengadilan Tipikor Semarang, Jumat (16/5/2025). [ANTARA/I.C. Senjaya]

Hevearita sendiri merupakan tokoh perempuan dengan karier birokrasi dan politik yang cemerlang.

Lahir di Semarang pada 15 Mei 1966, ia sempat menjabat Wakil Wali Kota Semarang pada 2016, sebelum akhirnya menjadi wali kota perempuan pertama di Semarang pada Januari 2023.

Selama menjabat, ia dikenal sebagai pemimpin yang komunikatif dan pro-rakyat, dengan berbagai program berbasis digitalisasi layanan publik dan pemberdayaan komunitas.

Namun, bayang-bayang kasus korupsi yang kini dihadapinya bersama sang suami berpotensi meruntuhkan reputasi yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun.

Dari simbol keberhasilan perempuan dalam politik lokal, kini Hevearita harus membuktikan integritasnya di hadapan hukum dan publik.

Kasus ini tidak hanya menyita perhatian warga Semarang, tetapi juga menjadi pengingat penting akan perlunya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat terhadap setiap proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini