SuaraJawaTengah.id - Ganjil rasanya menemukan sebuah makam berada di gang sempit, di tengah permukiman warga yang padat. Kisah kubur Entjik Minah yang penuh misteri.
Keberadaan pusara bertegel putih, dengan bunga pacar air merah darah yang tumbuh di tengahnya, terlihat asing dari situasi sekitar. Makam Entjik Minah seolah menyepi dari hiruk suasana Pasar Rejowinangun, Kota Magelang.
Menggembol rasa penasaran, kami masuk gang Kampung Tukangan Wetan yang hanya cukup dilalui dua sepeda motor berpapasan. Bekal kami rasa penasaran: Siapa Entjik Minah? Darimana asalnya? Mengapa makamnya ada di tengah permukiman warga?
“Nggak tahu ya. Entjik Minah mungkin dari Sumatera. Dari Aceh mungkin. Nggak tahu itu asal usulnya,” kata Endang Retno, warga sekitar makam Entjik Minah.
Baca Juga:Retret Kepala Daerah, Gubernur Paling Kaya Sherly Tjoanda Tampil Anggun Berseragam Loreng
Info dari pedagang sepatu di mulut gang mengantar kami pada Endang Retno, orang asli kampung sini. September besok, usianya menginjak 74 tahun.
Sebagai salah satu orang sepuh Tukangan Wetan, Endang lumayan paham sejarah kampung ini. “Jadi dulu kampung ini namanya Gelindingan. Sekarang Tukangan Wetan.”
Endang mengaku lahir di kampung ini. Papanya peranakan Tionghoa asal Solo, mamaknya dari Ambarawa.
Saat clash Belanda kedua tahun 1948, keluarga Endang Retno mengungsi ke Kota Magelang. Tidak hanya menghindari serangan tentara Belanda, mereka juga menyelamatkan nyawa dari amuk massa pribumi yang euforia setelah berhasil merebut kemerdekaan.
Pada masa itu orang-orang Tionghoa sering jadi sasaran tuduhan antek Belanda. Mereka dituding tidak mendukung kemerdekaan dan membantu upaya para “londo” untuk kembali menjajah Indonesia.
Baca Juga:Usai Dilantik Presiden Prabowo, 47 Kepala Daerah Absen Retreat Tanpa Keterangan
Keluarga Endang Retno salah satu yang ditampung di kampung Glindingan (sekarang Tukangan Wetan). Komunitas Tionghoa yang saat itu sudah mapan, ditambah banyaknya tangsi militer, membuat warga keturunan merasa aman eksodus ke Kota Magelang.